Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Septian Pribadi
Peneliti

Peneliti di Badan Litbang dan Inovasi di Tebuireng Media Group

Denmark, Integrasi, dan Pendidikan Lingkungan di Indonesia

Kompas.com - 01/08/2024, 16:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENURUT World Population Review 2022, Denmark didaulat menjadi negara yang paling ramah lingkungan di dunia. Pada 2024, berdasar survei yang sama, peringkat pertama dipegang oleh Estonia.

Survei ini digagas Yale University’s Center for Enviromental Law & Policy dengan menggunakan data statistik Enviromental Performance Index (EPI) yang mengukur kinerja lingkungan di 182 negara berdasarkan 32 indikator kinerja terkait kesehatan lingkungan dan vitalitas ekosistem.

Skor EPI tahun 2024, Estonia berada di angka 75,3 dan Denmark berada di urutan nomor 10 dengan skor 67,9. Lalu skor EPI Indonesia berada di angka 33,8 di tahun yang sama dan berada di urutan 163 dari 182 negara.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menanggulangi problem sampah dan limbah agar Indonesia menjadi negara yang ramah lingkungan.

Termasuk belajar dan melakukan kerja sama dengan Denmark yang terkenal memiliki sistem komprehensif dan efektif terkait pengelolaan sampah. Lalu apa hasilnya?

Belajar dari Denmark

Saya tidak hendak membeberkan semua sistem pengelolaan sampah di Denmark yang begitu kompleks. Kita tidak bisa serta merta meniru karena Denmark memiliki prasyarat kuat untuk mencapai ramah lingkungan, seperti pembiayaan yang besar pada fasilitas pengelolaan sampah, aturan ketat memilah sampah, pajak tinggi, dan tidak banyak kasus korupsi.

Prasyarat yang dimiliki Denmark belum dimiliki Indonesia. Rasanya akan sulit bagi Indonesia yang masih berkutat pada problem menjamurnya korupsi di segala sektor dan buruknya penegakan hukum. 

Namun, ada hal yang bisa kita tiru adalah bagaimana Denmark mampu melakukan edukasi ramah lingkungan pada masyarakatnya dan integrasinya.

Pada 2018, Dubes RI di Denmark pada saat itu, M. Ibnu Said, menceritakan bahwa di Denmark, edukasi memilah sampah dan membuang sampah pada tempatnya sudah dimulai sejak pre-school (di Indonesia setara PAUD). Yaitu saat anak-anak usia 1 hingga 6 tahun sudah masuk pre-school dan diajak jalan-jalan untuk pengenalan dan mencintai lingkungan.

Keberhasilan Denmark dalam menerapkan pendidikan lingkungan tidak sebatas itu. Melalui Amandemen Undang-Undang Pendidikannya, negara-negara Nordik (Swedia, Finlandia, Denmark dll) wajib memasukkan pendidikan lingkungan dalam kurikulum nasionalnya.

Amandemen kebijakan itu berfungsi untuk memastikan siswa kelas 1-10 memahami hubungan antar alam, masyarakat, dan individu.

Kebijakan berkelanjutan ini menuntut semua guru yang melakukan pengajaran pada anak pre-school hingga perguruan tinggi untuk memprioritaskan pendidikan lingkungan dalam setiap pengajarannya.

Upaya pendidikan lingkungan di Denmark tidak hanya digarap oleh Kementerian Lingkungan saja, mereka juga berkolaborasi kuat dengan Kementerian Pendidikan, Urusan Anak dan Keluarga, dan kementerian Riset.

Titik tekannya adalah pendidikan lingkungan berkelanjutan di semua jenjang pendidikan dan kolaborasi.

Negara-negara Nordik dengan upaya kerasnya dalam konsistensi pendidikan lingkungan, mendapat ganjaran dengan selalu mendominasi 10 besar, sebagai negara-negara yang sangat ramah lingkungan.

Pendidikan lingkungan di Indonesia

Sebetulnya Indonesia sudah menerapkan banyak upaya untuk mendukung pendidikan lingkungan.

Pada 1975, IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta) pernah membuat program pendidikan lingkungan yang diujicobakan di 15 sekolah dasar di Jakarta pada 1977/1978.

Lanjut pada 1986, Pendidikan Lingkungan Hidup dan Kependudukan dimasukkan ke dalam pendidikan formal di sekolah dengan membentuk mata pelajaran Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) yang diintegrasikan ke semua mata pelajaran dari jenjang SD hingga SLTA.

Kemudian pada 2006, Kementerian Lingkungan Hidup kembali memasukkan program pendidikan lingkungan melalui program Adiwiyata. Data terbaru pada 2022 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah ada 27.169 sekolah di seluruh Indonesia yang mengikuti Adiwiyata.

Kolaborasi juga sudah diupayakan untuk menciptakan gerakan serentak dalam pendidikan lingkungan.

Hingga 2010, tercatat ada 192 anggota jaringan pendidikan lingkungan hidup, baik dari jaringan itu sendiri, perorangan, dan lembaga. Namun sayang, tak ada data terbaru jumlah mereka dan kontribusinya saat ini.

Lalu, apa masalah terbesar Indonesia tidak bisa menjadi seperti Denmark dalam pendidikan lingkungan?

Rumitnya Indonesia

Jika melihat sejarah, Indonesia dan Denmark memiliki sejarah terkait kepedulian lingkungan yang tak jauh berbeda.

Pada mulanya, Denmark adalah negara yang berbasis pada pertanian dan perikanan. Hingga pada 1973 terjadi krisis minyak di Denmark. Maklum saja, 90 persen pasokan energi nasional Denmark bergantung pada impor minyak.

Krisis itu kemudian mengetuk Denmark untuk melakukan reorientasi sektor energi. Dan selama 5 dekade, upaya Denmark untuk melakukan Transisi Hijau berhasil.

Jika melihat tahun krisis minyak Denmark (1973), sebetulnya tak jauh beda dengan upaya Indonesia untuk mengupayakan pendidikan lingkungan (1975). Hanya selisih dua tahun saja.

Bahkan kalau mau lebih fair, sejak zaman penjajahan Belanda, sudah banyak kebijakan untuk ramah lingkungan. Sebut saja pada 1922, pemerintah Belanda pernah membuat Colonal Governance untuk menanggulangi sampah dan tinja di Surabaya.

Lalu pada dekade 1960-an, Sukarno pernah menjadikan isu nasional berupa anjuran hidup bersih dan sehat. Gaung kebersihan Sukarno ini meluas di seluruh Indonesia khususnya sebelum pagelaran Konferensi Asia-Afrika (KAA) hingga memunculkan program Operasi Bersih.

Gubernur Jakarta dua periode (1960-1964 dan 1965-1966), Soemarno, yang terkenal dengan julukan Gubernur Sampah, sampai merasa frustasi karena upayanya untuk membuat Jakarta bersih dari sampah tak kunjung terwujud.

Jika Denmark menyebut diri mereka sebagai negara yang amat dekat dan terikat pada tanah dan laut dengan pertanian dan perikanan sebagai basis mereka, lalu bagaimana dengan Indonesia, negara yang terkenal dengan negara agraris dan maritim?

Lalu apa akar masalah Indonesia tidak mampu menciptakan pendidikan lingkungan seperti Denmark? Jawabannya adalah kita belum terintegrasi. Baik integrasi teknologi maupun integrasi regulasi.

Tidak adanya integrasi antarlembaga kementerian terkait dalam pendidikan lingkungan menjadi akar masalah Indonesia menuju ramah lingkungan.

Terbaru, Presiden Jokowi sempat menyentil lembaga kementerian yang memiliki ribuan aplikasi. Artinya integrasi teknologi tak berjalan.

Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang masih acak-acakan menambah rumitnya regulasi untuk disepakati bersama.

Menurut survei United Nations (UN) E-Government Survey (survei tentang pengembangan dan pelaksanaan e-government) 2020, Indonesia berada pada peringkat 88 (skor 0.6612) dari 193 negara.

Bandingkan dengan Denmark di survei dan tahun yang sama, mereka menempati peringkat pertama dengan skor 0.9717 dari 193 negara.

Jadi, integrasi adalah solusi mutlak untuk mampu menciptakan pendidikan lingkungan seperti Denmark. Apakah Indonesia mampu?

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Hutan Kota Bantu Kurangi Risiko Kesehatan akibat Panas Ekstrem

Hutan Kota Bantu Kurangi Risiko Kesehatan akibat Panas Ekstrem

Pemerintah
Kisah Mennatullah AbdelGawad yang Integrasikan Pembangunan Berkelanjutan ke Sektor Konstruksi

Kisah Mennatullah AbdelGawad yang Integrasikan Pembangunan Berkelanjutan ke Sektor Konstruksi

Swasta
Kemiskinan Naik di Daerah Tambang, Pertumbuhan Ekonomi Hanya di Atas Kertas

Kemiskinan Naik di Daerah Tambang, Pertumbuhan Ekonomi Hanya di Atas Kertas

LSM/Figur
Ilmuwan Temukan Cara Manfaatkan Ampas Kopi untuk Beton

Ilmuwan Temukan Cara Manfaatkan Ampas Kopi untuk Beton

LSM/Figur
Cegah Kerusakan Hutan Perlu Perlindungan Sosial Berbasis Masyarakat

Cegah Kerusakan Hutan Perlu Perlindungan Sosial Berbasis Masyarakat

LSM/Figur
Kabar Baik, WMO Prediksi Lapisan Ozon Bisa Pulih Sepenuhnya

Kabar Baik, WMO Prediksi Lapisan Ozon Bisa Pulih Sepenuhnya

LSM/Figur
Adaro Masuk Daftar TIME World’s Best Companies 2024, Apa Strateginya?

Adaro Masuk Daftar TIME World’s Best Companies 2024, Apa Strateginya?

Swasta
Konvensi Panas Bumi IIGCE Berpotensi Hadirkan Investasi Rp 57,02 Triliun

Konvensi Panas Bumi IIGCE Berpotensi Hadirkan Investasi Rp 57,02 Triliun

Swasta
AI Bisa Tekan Emisi Karbon dan Tingkatkan Keuntungan Perusahaan, Bagaimana Caranya?

AI Bisa Tekan Emisi Karbon dan Tingkatkan Keuntungan Perusahaan, Bagaimana Caranya?

Swasta
Indonesia Turunkan Perusak Ozon HCFC 55 Persen Tahun 2023

Indonesia Turunkan Perusak Ozon HCFC 55 Persen Tahun 2023

Pemerintah
Masuk 500 Besar Perusahaan Terbaik Versi TIME, Intip Strategi ESG Astra

Masuk 500 Besar Perusahaan Terbaik Versi TIME, Intip Strategi ESG Astra

Swasta
Wanagama Nusantara Jadi Pusat Edukasi dan Konservasi Lingkungan di IKN

Wanagama Nusantara Jadi Pusat Edukasi dan Konservasi Lingkungan di IKN

Pemerintah
20 Perusahaan Global Paling 'Sustain' Versi Majalah TIME, Siapa 20 Teratas?

20 Perusahaan Global Paling "Sustain" Versi Majalah TIME, Siapa 20 Teratas?

Swasta
Tanpa Turunnya Emisi, Populasi Dunia Hadapi Ancaman Cuaca Ekstrem

Tanpa Turunnya Emisi, Populasi Dunia Hadapi Ancaman Cuaca Ekstrem

LSM/Figur
Kerajinan Lontar Olahan Perempuan NTT Diakui di Kancah Global

Kerajinan Lontar Olahan Perempuan NTT Diakui di Kancah Global

LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau