KOMPAS.com - Stigma negatif dirty nickel (nikel kotor) Indonesia bisa dihapus dengan mengimplementasikan praktik Environmental, Social, dan Governance (ESG) di industri ekstraktif secara baik dan benar.
Guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwandy Arif, mengatakan bahwa secara umum, implementasi ESG di sejumlah perusahaan ekstraktif berskala besar sudah dijalankan secara baik.
“Ada stigma bahwa nikel Indonesia itu nikel "kotor" yang sering diberitakan di luar negeri, namun hal ini belum tentu benar. Sejauh ini, beberapa tambang nikel di Indonesia sudah menerapkan ESG dengan baik. Jadi itu bisa menghapus stigma negatif tersebut,” kata Irwandy dalam keterangannya, dikutip Kamis (1/8/2024).
Baca juga: 13 Perusahaan Raih Penghargaan ESG Award 2024 by KEHATI
Irwandy yang juga menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara ini menyebut sejumlah perusahaan nikel skala besar yang beroperasi di Indonesia seperti PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT Vale Indonesia Tbk, hingga Eramet Indonesia sudah mengimplementasikan ESG dengan baik.
“Saya pikir kalau semacam Eramet, Vale, Antam, itu pasti sudah menerapkan ESG dengan baik. Sekarang hanya tinggal bagaimana monitoring dari pemerintah secara berkelanjutan. Saya kira kita tidak perlu meragukan untuk hal itu,” tutur dia.
Namun untuk perusahaan-perusahaan menengah ke bawah, Irwandy menilai, pemerintah Indonesia masih perlu menaruh perhatian khusus.
Meski tak menyebut nama, dia menegaskan implementasi ESG dapat menempatkan perusahaan ekstraktif Indonesia menjadi bagian dari tren global. ESG yang baik juga menjasi usaha cap negatif terhadap hasil industri minerba Indonesia.
Baca juga: Potensi Pasar Besar, Penerapan ESG Jadi Keharusan
Ia pun menegaskan bahwa pemerintah memiliki peran besar dalam mendorong setiap perusahaan ekstraktif untuk mengimplementasikan ESG.
“Iya dong, sangat penting implementasi dari ESG ini dalam industri ekstraktif,” tegasnya.
Terkait dengan standar penerapan prinsip ESG di sejumlah perusahaan ekstraktif, Irwandy mengatakan ada banyak sekali penilaian.
Setiap perusahaan memiliki standar berbeda namun memiliki tujuan yang sama untuk memastikan penerapan ESG dijalankan dengan baik.
Baca juga: Bahas di Forum B20, Perusahaan Diimbau Terapkan Konsep ESG
Irwandy mengapresiasi penggunaan standar Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) yang digunakan oleh Eramet untuk memastikan prinsip ESG sudah dijalankan dengan baik.
"Eramet sebagai perusahaan tambang nikel asal Prancis saat ini menjadi salah satu yang pertama menerapkan standar IRMA di Indonesia," ujarnya.
Sebagai informasi, standar IRMA merupakan jawaban atas permintaan global terhadap praktik pertambangan yang lebih bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan.
IRMA menawarkan verifikasi dan sertifikasi pihak ketiga yang bersifat independen berupa standar komprehensif untuk semua material yang ditambang, dan merupakan ‘one-stop coverage’ dari berbagai isu yang terkait dengan dampak tambang skala industri.
Irwandy juga menjelaskan untuk penilaian ESG, tidak hanya IRMA saja yang digunakan oleh perusahaan ekstraktif.
Baca juga: Potret Rakusnya Oligarki dalam Serial Dokumenter Kutukan Nikel
Ada standar penilaian ESG lainnya seperti International Financial Reporting Standards (IFRS), International Financial Reporting Standards (IFRS) S1 dan S2, serta International Council on Mining and Metals (ICMM), yang digunakan oleh berbagai perusahaan ekstraktif untuk memastikan implementasi ESG mereka.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya