Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 1 Agustus 2024, 16:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Kereta api merupakan salah satu moda transportasi yang memiliki jejak karbon paling rendah bila dibandingkan yang lainnya.

Akan tetapi, mayoritas angkutan barang PT Kereta Api Indonesia (KAI) merupakan batu bara.

Hal tersebut disampaikan EVP of Corporate Strategic Planning, Monitoring, & Sustainability PT KAI Muh Sahli dalam webinar yang digelar Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada (UGM), Rabu (31/7/2024).

"Prinsipnya kereta api itu termasuk tiga paling rendah di samping KRL (kereta rel listrik) maupun kapal itu, kami nomor tiga paling bawah (emisi karbonnya)," ujar Sahli.

Baca juga: Permintaan Listrik Naik, Konsumsi Batu Bara Dunia Diprediksi Tak Turun sampai Tahun Depan

Menurut penghitungan sederhana yang pihaknya lakukan, emisi karbon dari satu lokomotif sekitar 45.920 gram karbon dioksida per kilometer.

Bila lokomotif tersebut mengangkut delapan sampai 14 gerbong dengan total 1.120 kursi, maka emisi karbon dari masing-masing penumpang adalah 41 gram karbon dioksida per orang.

Jejak karbon tersebut sangat rendah bila dibandingkan mobil pribadi berkapasitas tujuh penumpang dan sepeda motor dengan dua orang.

Emisi masing-masing orang dari mobil tujuh penumpang adalah 192 gram karbon dioksida per orang sedangkan sepeda motor 103 gram per orang.

Baca juga: IUP Batu Bara untuk Ormas Keagamaan dan Pergeseran Wacana Nasionalisme

Di sisi lain, Sahli mengakui batu bara menjadi kontributor utama angkutan barang di PT KAI.

Pada 2023, total angkutan barang PT KAI mencapai 63,6 juta ton. Dari jumlah tersebut 80 persen di antaranya disumbang oleh batu bara di Sumatera.

Secara umum, angkutan barang di kereta api selalu bertumbuh dari tahun ke tahun, dari 45,1 juta ton pada 2020 menjadi 63,6 juta ton pada 2023.

"Kereta api memang menghasilkan emisi paling rendah, namun mayoritas angkutannya adalah batu bara. Ini paradoks yang saya kira bisa kita diskusikan bersama," ucap Sahli.

Baca juga: Kementerian ESDM Akui Mayoritas Smelter di RI Masih Andalkan Batu Bara

Upaya dekarbonisasi

Sahli menyampaikan, PT KAI juga tetap berupaya melakukan dekarbonisasi meski menghasilkan jejak karbon paling rendah.

Beberapa upaya yang akan dilakukan PT KAI yakni memperpanjang rangkaian kereta barang dan penggunaan biosolar untuk bahan bakar lokomotif.

"Untuk perpanjangan rangkaian kereta barang, karena semakin panjang rangkaian, semakin banyak barang yg diangkut, penggunaan bahan bakar minyak semakin efisien," ucap Sahli.

Selain itu, upaya elektrifikasi kereta juga menjadi salah satu strategi dekarbonisasi PT KAI.

Baca juga: Ketergantungan Batu Bara Bikin Ekonomi RI Rentan di Masa Depan

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
LSM/Figur
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Pemerintah
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau