JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan, peluang percepatan transisi energi di Indonesia pada 2025 dapat dilakukan melalui sektor kelistrikan dan transportasi.
Menurut Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, transisi ke energi baru terbarukan (EBT) memerlukan pembangunan pembangkit energi secara masif. Setidaknya, pembangkit energi EBT berkapasitas 7 gigawatt harus dibangun hingga 2030 mendatang.
“Ini yang dikejar siapa? Ya PLN. Jadi sudah jelas harus dibangun. Siapa yang bertanggung jawab untuk mengorganisasi pembangunan itu adalah PLN,” ujar Fabby saat dihubungi, Selasa (24/12/2024).
Dia menilai, transportasi juga dapat mendorong Indonesia untuk mencapai target net-zero emission pada 2060.
Elektrifikasi sepeda motor dan mobil di dalam negeri, kata Fabby, mulai menunjukkan perkembangan yang signifikan. Begitu pula bus listrik yang sudah dioperasikan di berbagai kota.
Baca juga: Baterai Litium-Sulfur Ultra Fast Charging Jadi Solusi Mobil Listrik Jarak Jauh
Tujuannya untuk memangkas emisi gas rumah kaca (GRK) dan polusi udara, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, serta mengurangi biaya operasional.
“Nah ini yang masih bisa diakselerasi menurut saya. Selain kendaraan listrik, kita lihat juga di transportasi hybrid. Walaupun hybrid masih pakai bahan bakar minyak, tetapi ada pengurangan konsumsi bahan bakar minyak,” ungkap Fabby.
Hal itu diyakini dapat berkontribusi pada pengurangan emisi karbon dan pencapaian target keberlanjutan energi.
Adapun saat ini perkembangan transisi energi di Indonesia masih jauh dari target.
Fabby mengatakan, alasannya karena bauran energi terbarukan pada 2024 tidak bertambah secara signifikan dari 2023.
Baca juga: LG Pamerkan Baterai Mobil Listrik Mid-Nickel, Bakal Diproduksi di Indonesia?
Pemerintah menargetkan pencapaian bauran energi nasional dari EBT sebesar 23 persen pada 2025. Namun, baru 14 persen yang dapat dipenuhi hingga tahun ini.
“Jadi masih ada kekurangan kira-kira ya 6-7 persen dari target yang seharusnya kita capai (di 2024). Kalau sampai 23 persen, kira-kira 7-9 gigawatt yang harus dikejar sampai 2025,” ucap dia.
Peningkatan ketergantungan pada energi fosil, batubara, dianggap menjadi masalah utama. Fabby menyebut, kontribusi bauran energi fosil melalui batubara justru meningkat sampai 67-68 persen pada 2024, dari tahun 2023 sebesar 64-65 persen.
Ketergantungan pada energi fosil yang terus berlanjut berisiko menyebabkan biaya transisi energi yang makin mahal.
“Kalau mahal melakukan transisi energi berarti semakin besar biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat atau melakukan perubahan sistem energi menuju energi terbarukan. Implikasinya bukan hanya soal energinya tetapi kita akan mulai tergerus daya saingnya,” tutur Fabby.
Dampaknya, dapat menyebabkan banyak investor di sektor manufaktur enggan untuk berinvestasi. Sebab biaya produksi yang lebih tinggi dan sulitnya mendapatkan energi bersih.
Baca juga: RI dan Asean Diingatkan untuk Siapkan Infrastruktur Daur Ulang Baterai Mobil Listrik
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya