KOMPAS.com - Badan Energi Internasional (IEA) memproyeksikan permintaan logam seperti lithium, nikel, dan kobalt yang digunakan sebagai baterai untuk perangkat yang ditenagai listrik bakal meningkat empat kali lipat pada 2040.
Hal tersebut bisa jadi kabar gembira karena menjadi indikator bahwa upaya elektrifikasi yang diperjuangkan untuk lepas dari penggunaan bahan bakar fosil berhasil.
Namun kabar buruknya, tanpa infrastruktur daur ulang, baterai yang dibuang usai digunakan dan bahan kimia beracunnya bisa menimbulkan bahaya lebih lanjut bagi lingkungan dan kesehatan manusia.
Baca juga:
Mengutip Eco Business, Sabtu (26/10/2024) para ahli pun khawatir bahwa Asia Tenggara akan tertinggal dalam hal daur ulang saat pemerintah kawasan tersebut berusaha mengganti lebih banyak kendaraan listrik.
Misalnya saja, Indonesia yang menargetkan 2 juta kendaraan listrik roda empat di jalan pada tahun 2030.
Laporan Economic Research Institute for ASEAN and East Asia menunjukkan peralihan ke kendaraan listrik dapat membanjiri Asia Tenggara dengan baterai bekas senilai 2.166 gigawatt per jam pada tahun 2040.
Baterai yang sudah tidak dipakai lagi ini dikategorikan sebagai limbah elektronik atau e-waste, yang sering kali berbahaya. Sementara di sisi lain proses daur ulang belum berjalan maksimal.
Dari 62 juta ton e-waste yang diproduksi secara global pada tahun 2022, hanya kurang dari seperempatnya saja yang berhasil di daur ulang. Di beberapa wilayah Asia Tenggara, tingkat daur ulang e-waste ini bahkan lebih rendah.
Amy Khor, Menteri Senior untuk Keberlanjutan dan Lingkungan mengungkapkan Singapura diperkirakan menghasilkan 60.000 ton e-waste per tahun, tetapi hanya 6 persen yang didaur ulang.
Sedangkan di Indonesia, 2 juta ton sampah elektronik diproduksi pada tahun 2021, dan hanya sekitar 17 persen yang didaur ulang.
Pada tahun 2021, pemerintah mendirikan Perusahaan Baterai Indonesia untuk memproduksi dan mendaur ulang baterai dan tahun ini mengeluarkan aturan baru yang mengatur pengurangan dan pengelolaan sampah elektronik.
Baca juga:
Namun, masih belum jelas bagaimana baterai yang tidak terpakai akan dikumpulkan.
“Sejauh ini kami kekurangan infrastruktur, termasuk tempat pengumpulan, metode transportasi, dan fasilitas pengolahan, untuk menangani sampah elektronik dan baterai,” ungkap Abdul Ghofar, manajer kampanye polusi dan keadilan perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
"Kami juga membutuhkan pemerintah untuk mempromosikan dan memberikan edukasi yang lebih baik kepada masyarakat mengenai pentingnya daur ulang baterai,” tambah Jayden Goh, dari EcoNiLi, perusahaan daur ulang baterai.
Bisnis daur ulang baterai global sendiri akan meningkatkan kapasitas lima kali lipat pada tahun 2030, yang 70 persennya direncanakan di Tiongkok, produsen baterai lithium-ion terkemuka di dunia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya