Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Mengapa Slow Fashion Sulit Jadi Tren?

Kompas.com - 21/04/2025, 14:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dari sudut pandang konsumen, harga dan tren adalah daya tawar utama. Fast fashion menawarkan perkembangan pakaian terkini dengan harga terjangkau, sementara pakaian ramah lingkungan harganya cenderung lebih mahal.

Misalnya, harga kaos berbahan 100 persen serat TENCEL™ Lyocell, yang mengklaim sebagai lini pakaian berkelanjutan adalah 85,5 dollar AS atau Rp 1,2 juta. Sementara konsumen bisa membeli baju serupa dari ritel fast fashion dengan harga Rp200 ribu–Rp300 ribu.

Rantai produksi mereka mungkin bisa menjelaskan mengapa pakaian tersebut wajar di banderol dengan harga tinggi. Namun, konsumen secara umum tidak melihat pentingnya sistem penghargaan ini–mereka hanya merogoh kocek dan menemukan isi kantong tidak cukup membelinya. Adapun konsumen generasi muda, meski lebih sadar lingkungan, daya beli mereka masih rendah.

Urusan ‘kantong pembeli’ ini menjadi hambatan utama yang membatasi keberlanjutan dan perilaku pro lingkungan. Harga yang tinggi menjadikan fesyen berkelanjutan tidak inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu, pelaku bisnis fesyen harus mencari keseimbangan antara ongkos produksi dan harga jual.

2. Persaingan mode

Data Tinkerlust Impact Report 2022 mengungkapkan bahwa sebanyak 63,46 persen orang Indonesia lebih suka membeli produk fast fashion karena kemudahan akses dan tampilannya yang fashionable.

Baca juga: Paling Berpolusi, Industri Fast Fashion Picu Krisis Sampah Global

Sementara slow fashion menghadapi tantangan persepsi bahwa produknya kurang modis alias tidak trendy dan pilihannya juga terbatas. Untuk itu, industri slow fashion mungkin harus berusaha memastikan produk mereka tetap stylish agar menarik pelanggan terutama dari kalangan muda.

3. Kesadaran publik

Tantangan besar lainnya adalah masih minimnya kesadaran publik akan fesyen berkelanjutan. Ada pekerjaan rumah bersama mengedukasi konsumen untuk menahan pembelian pakaian baru dan melakukan usaha lebih untuk memperpanjang usia pemakaian pakaian.

Riset kami menunjukkan, salah satu medium yang ampuh untuk mengedukasi masyarakat adalah media sosial, terutama Instagram.

Menurut Digital Report 2023, 64,5 persen masyarakat Indonesia cenderung menggunakan media sosial untuk mencari informasi mengenai merek dan produk, dan #fashion merupakan hashtag Instagram yang paling banyak digunakan. Laporan yang sama menunjukkan bahwa, iklan Instagram berpotensi menjangkau 41,2 persen masyarakat Indonesia.

Saya bersama tim sudah mengkaji bagaimana informasi tentang slow fashion tersebar di Instagram, khususnya melalui dua akun berpengaruh, @setali.indonesia di Indonesia dan @klothcircularity di Malaysia, yang aktif mempromosikan fesyen berkelanjutan.

Hasil studi menunjukkan bahwa konten edukatif mendominasi komunikasi slow fashion di Instagram, mencakup 53% persen dari total unggahan, diikuti oleh konten interaktif (41 persen) yang melibatkan diskusi dan partisipasi komunitas. Sementara itu, konten promosi langsung hanya 6 persen. Artinya, promosi slow fashion harus berfokus pada konten edukasi dan keterlibatan komunitas daripada sekadar iklan biasa.

Masih pilih fast fashion?

Ingat, tragedi Rana Plaza merenggut 1.100 nyawa pada 2013 silam karena perusahaan garmen mengabaikan peringatan kerusakan bangunan demi memproduksi fast fashion tanpa henti. Berbagai merek populer terlibat tragedi ini karena memilih memproduksi barangnya di sana demi ongkos murah.

Belum lagi, dampak fast fashion terhadap pemanasan global dan biodiversitas laut yang tercemar mikroplastik. Lebih baik kita sama-sama belajar menahan nafsu, berhenti mengikuti tren fast fashion, dan mulai menabung untuk mendukung fesyen ramah lingkungan, yuk!

PhD Candidate at ICSJ Charles University | Lecturer, Universitas Multimedia Nusantara

Baca juga: Industri “Fast Fashion” Hasilkan Limbah Tekstil Tak Terkelola 92 Juta Ton Per Tahun

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau