KOMPAS.com - Pengembangan kecerdasan buata mendorong penggunaan teknologi yang makin rakus energi.
Peningkatan kebutuhan energi itu memicu kekhawatiran publik pada komitmen big tech dalam memenuhi target penurunan nol emisi.
Emisi Meningkat, Komitmen Lingkungan Dipertanyakan
Menurut laporan The Register yang dikutip dari Sustainability News pada Senin (21/4/2025), meski raksasa teknologi telah menggembar-gemborkan ambisi hijau, data emisi menunjukkan hal sebaliknya:
Padahal, ketiganya telah mengumumkan target ambisius:
Meskipun Microsoft, Amazon, Google, kini baru mulai memakai Nvidia 120 kW per rack system, GPU maker telah mempersiapkan desain yang bisa mendukung 600 kW per rack system. Kebutuhan energi dan potensi emisi makin meningkat.
Investasi dalam Teknologi Penghilangan Karbon
Sebagai upaya mengelola lonjakan energi dan emisi, para raksasa teknologi ini mulai berinvestasi dalam beragam teknologi penghilang karbon, termasuk:
Baca juga: Bagaimana Kecerdasan Buatan Memengaruhi Keberlanjutan pada 2025?
Meski menjanjikan, kedua teknologi tersebut masih menghadapi tantangan biaya, efisiensi, dan potensi dampak lingkungan dari prosesnya.
Investasi dalam Energi Nuklir: Reaktor Modular hingga Fusi
Selain teknologi penghilang karbon, perusahaan-perusahaan teknologi juga mulai serius melirik energi nuklir sebagai solusi jangka panjang:
Microsoft bermitra dengan Constellation Energy untuk menghidupkan kembali reaktor Three Mile Island Unit 1, serta menjalin kerja sama dengan perusahaan fusi Helion Energy untuk menyediakan energi helium-3 pada 2028.
Amazon mengakuisisi operasi pusat data bertenaga nuklir Cumulus Data, yang terhubung dengan pabrik Susquehanna berkapasitas hingga 960 MW.
Google dan Oracle juga tertarik pada reaktor modular kecil (SMR), meskipun implementasi luas baru mungkin terjadi di tahun 2030-an.
Energi Terbarukan dan Gas Alam Jadi Alternatif Tambahan
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya