JAKARTA, KOMPAS.com - Panas bumi dinilai sebagai fondasi utama transisi energi bersih, bukan hanya di tingkat nasional dan regional, tetapi juga global.
Selain itu, panas bumi juga diyakini sebagai jawaban atas ‘trilema energi’. Terlebih, Indonesia memiliki cadangan sekitar 24 gigawatt (GW), setara dengan 40 persen dari total potensi panas bumi dunia.
Direktur Keuangan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk Yurizki Rio menyatakan hari ini Asia masih memerlukan keseimbangan bauran energi karena energi fosil masih menjadi tulang punggung listrik di banyak negara untuk menjaga ketahanan, dengan porsi sekitar 80 persen dari kebutuhan energi Asia.
Baca juga: Insentif Fiskal dan Skema KPBU Dinilai Bisa Majukan Panas Bumi Nasional
"Namun, di saat bersamaan, permintaan listrik di kawasan ini terus melonjak. Untuk mencapai target iklim, Asia Tenggara perlu melipatgandakan investasi energi bersih hingga lima kali lipat, yakni menjadi sekitar 190 miliar dollar AS per tahun pada 2035. Ini adalah lompatan besar yang menunjukkan betapa mendesaknya akses terhadap modal baru,” ungkap Yurizki dalam keterangan resmi, Senin (6/10/2025).
Ia menegaskan bahwa bagi Asia, transisi energi bukan sekadar menambah kapasitas gigawatt dari sumber terbarukan, tetapi juga memastikan listrik tetap tersedia dan industri tetap kompetitif.
Dalam konteks ini, panas bumi dipandang sebagai sumber energi bersih yang ideal. Memiliki karakter sebagai sumber energi lokal yang andal dan tersedia sepanjang waktu, panas bumi tidak bergantung pada kondisi cuaca seperti angin atau matahari.
Keunggulan ini memungkinkan negara-negara secara bertahap mengurangi ketergantungan pada batu bara tanpa harus mengorbankan stabilitas sistem energi.
“Panas bumi secara alami menjawab ketiga aspek tersebut, yakni bersifat bersih dan berkelanjutan, andal sebagai baseload, serta dengan struktur pembiayaan yang tepat, tetap terjangkau dalam jangka panjang,” jelasnya.
Baca juga: Potensi Panas Bumi RI Capai 23.742 MW, tapi Baru Terkelola 10 Persen
Transisi energi tidak mungkin terwujud tanpa proyek berskala besar yang bankable. Pembangkit listrik, jaringan transmisi, hingga interkoneksi lintas batas membutuhkan pendanaan masif.
Tantangan utamanya bukan pada ambisi, melainkan pada pembiayaan. Menurut International Energy Agency (IEA), Asia-Pasifik perlu melipatgandakan investasi energi bersih hingga tiga kali lipat dalam kurang dari satu dekade, dari 770 miliar dollar AS saat ini menjadi lebih dari 2,3 triliun dollar AS per tahun pada 2030.
Yurizki menilai Indonesia menghadapi kebutuhan serupa. Setiap tahun dibutuhkan sekitar 20 miliar dollar AS–25 miliar dollar AS di sektor energi, terutama untuk panas bumi, surya, dan hidro.
Khusus panas bumi, meskipun andal, pembiayaannya sangat besar. Satu sumur produksi dapat menelan biaya hingga 5 juta dollar AS hingga 6 juta dollar AS, sementara risiko eksplorasi membuat banyak investor ragu untuk terlibat.
Indonesia kerap dijuluki "Saudi Arabia of geothermal" berkat cadangan melimpah. Namun nyatanya, hingga kini baru sekitar 2,6 GW yang dimanfaatkan. Padahal, setiap 1 miliar dollar AS investasi panas bumi tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga menggerakkan industri pengeboran, rekayasa, dan ekonomi lokal dengan multiplier effect hingga 1,25 kali.
Baca juga: Pengamat UGM: Panas Bumi Memang Punya Risiko, Tapi Lebih Rendah dari Energi Fosil
Hilirisasi panas bumi bahkan membuka peluang diversifikasi produk, seperti green hydrogen dan green ammonia.
“Energi terbarukan bukan hanya solusi iklim, tetapi juga motor pertumbuhan ekonomi. Di Asia, investasi hijau telah menciptakan jutaan pekerjaan, menarik modal global, dan membangun industri domestik. Bagi Indonesia, pengembangan panas bumi tidak hanya membersihkan jaringan listrik, tetapi juga memperkuat rantai pasok dan kapasitas teknologi lokal,” jelas dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya