JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan bahwa mikroplastik saat ini terdeteksi di udara dan bisa terhirup manusia.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Oseanografi BRIN, Muhammad Reza Cordova, menjelaskan ketika terbawa udara, partikel ini mencapai atmosfer lalu mengontaminasi air hujan.
Setidaknya, 3-40 partikel per persegi mikroplastik turun bersamaan dengan hujan di Jakarta.
"Ini menjadi alarm buat kita bahwa udara yang kita hirup sekarang sudah mengandung polutan tambahan yaitu berupa mikroplastik. Walaupun fenomenanya bisa jadi terjadi lebih lama, tetapi ini memang baru terdeteksi beberapa tahun terakhir," ungkap Reza dalam konferensi pers di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (24/10/2025).
Baca juga: BRIN Jelaskan Bagaimana Bakar Sampah Bisa Datangkan Hujan Mikroplastik
Tak hanya di Jakarta, 18 kota besar dan kawasan peisisir juga berpotensi mengalami kondisi yang sama. Reza telah mengambil sampel air hujan di beberapa wilayah itu pada Juni-Juli 2025 lalu. Sejauh ini, peneliti masih mengolah data riset tersebut.
"Tetapi memang kabar buruknya adalah seluruh sampel kami yang ada di udara mengandung mikroplastik, mau itu besar ataupun kecil range-nya. Seperti yang ada di Jakarta range-nya kurang lebih sama, antara 3 sampai 40 partikel per persegi per hari," tutur dia.
Reza menilai praktik pembuangan dan pembakaran sampah di wilayah sekitar Jakarta, seperti Bogor, Depok, Bekasi, Banten, hingga Purwakarta menjadi penyebab utama hujan terpapar partikel berbahaya. Dia menjelaskan, mikroplastik erat kaitannya dengan tempat pemrosesan akhir (TPA) dengan sistem terbuka atau open dumping.
Air lindi dari TPA open dumping meningkatkan mikroplastik di badan air tiga sembilan kali lebih besar.
Kondisi itu diperparah dengan cuaca dan angin yang cenderung bersifat regional, di mana awan yang terbentuk pada satu wilayah bisa bergerak dan melepaskan hujan ke daerah lain. Sehingga, partikel mikroplastik yang naik ke atmosfer di satu kota bisa saja jatuh di lokasi yang berbeda, bahkan jauhnya mencapai ratusan kilometer.
Baca juga: Dampak Ganda Mikroplastik: Rusak Tanah, Emisi Gas Rumah Kaca Meningkat
"Jadi kita bisa bayangkan TPA yang ada di Indonesia berapa banyak, membuang lebih banyak akhirnya mikroplastiknya juga lebih banyak. Apalagi pada saat musim kemarau, open dumping terkena langsung sinar matahari dan itu bisa melepaskan mikroplastiknya," ujar dia.
Sementara itu, Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan P2P Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Rahmat Aji Pramono, paparan mikroplastik di udara berpotensi mengancam kesehatan. Jika terhirup, partikel ini menjadi faktor risiko infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Mikroplastik dapat mengontaminasi makanan dan minuman, lalu masuk ke saluran pencernaan.
"Kita juga akan mengalami peradangan di saluran pencernaan, tetapi efeknya memang tidak langsung butuh waktu panjang, bisa bertahun-tahun dan puluhan tahun bahkan," ucap Pramono.
Partikel mikroplastik berukuran sangat kecil bisa masuk ke sistem peredaran darah dan mengganggu fungsi organ. Dalam jangka panjang, mikroplastik dan PM2.5 di dalam tubuh berpotensi menyebabkan gangguan hormon serta tumbuh kembang janin.
"Memang di dalam beberapa penelitian dan penyebab dari PM2.5 bisa menyebabkan gangguan tumbuh kembang janin di dalam tubuh. Jadi janinnya akan lahir prematur atau janinnya akan lahir dengan berat badan yang kurang," jelas dia.
Baca juga: BRIN Wanti-wanti Hujan Mikroplastik Tak Hanya Terjadi di Jakarta
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya