JAKARTA, KOMPAS.com - Target puncak emisi gas rumah kaca (GRK) atau peak emission Indonesia dalam dokumen Second Nationally Determined Contribution (NDC) mundur dari awalnya tahun 2030, menjadi pada 2035.
Puncak emisi merupakan titik saat total emisi GRK suatu negara mencapai level tertinggi sebelum akhirnya menurun.
Baca juga: Transisi Energi Barang Siapa Sih? IESR Minta Presiden Tunjuk Komandonya
Chief Executive Officer (CEO) Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa khawatir, pengunduran target peak emission berdampak pada tidak tercapainya emisi nol bersih (net zero emission/NZE) di tahun 2060 atau lebih awal.
Apalagi, emisi GRK di Indonesia berasal dari berbagai sektor, dari energi, hutan dan lahan, pertanian, sampai sampah.
Untuk mencapai target Perjanjian Paris, emisi Indonesia harus mencapai puncaknya pada 2030 dan menurun secara signifikan di tahun 2050.
"Karena (emisi mencapai) puncak itu belum tentu langsung turun. Bisa saja datar, terus baru turun. Kalau puncaknya semakin lama, menurunkannya untuk turun dengan cepat itu lebih mahal biayanya. Kalau biayanya lebih mahal, kerumitannya lebih tinggi, kemungkinan kita tidak bisa mewujudkannya. Itu kenapa harus puncak emisi secepatnya," ujar Fabby di Jakarta, Senin (20/10/2025).
Menurut Fabby, sektor hutan dan lahan, serta energi harus bisa mencapai NZE lebih awal dari target di tahun 2060. Bahkan, sektor energi di Indonesia harus dapat mencapai NZE pada 2050. Sedangkan pembangkit listrik, industri, dan transportasi setidaknya bisa mencapai NZE sekitar tahun 2050-an.
Dalam skenario mencapai target NZE di tahun 2060, Indonesia berupaya menghilangkan sisa emisi dengan mengandalkan ekosistem hutan dan laut sebagai penyerap karbon. Padahal, mengandalkan ekosistem hutan dan laut untuk menghilangkan sisa emisi merupakan skenario yang sangat berisiko.
"Karena penyerapan karbon dari hutan itu tidak setinggi yang diklaim, seperti hasil perhitungan terbaru karbon di hutan Australia. Itu harus dihitung, benarkah kalau kapasitas hutan di Indonesia memang bisa menyerap karbon (dalam jumlah besar)?," tutur Fabby.
Berkaca dari sejarah, kata dia, tidak ada yang bisa menjamin hutan dan lahan di Indonesia tidak mengalami penurunan kapasitas penyerapan karbon akibat deforestasi.
"Ini yang hutan namanya, hutan itu siapa yang menjamin, ya, tidak terjadi deforestasi? Pengalaman Indonesia tuh udah kelihatan banget, loh. Misalnya ada moratorium, sebelumnya moratorium sawit ya, tapi lihat luasan sawit tetap juga. Kemudian, buka (hutan) di Merauke untuk food estate, 2 juta hektar. Ya, nanti ada presiden baru, wah, saya mau buka hutan, siapa yang dijamin?," ucapnya.
Baca juga: IESR Dukung Target 100 Persen Listrik EBT Prabowo, Ingatkan Perlu Peta Jalan Konkret
Maka dari itu, Indonesia perlu lebih ambisius dalam menetapkan target penurunan emisi dalam Second NDC. Sebaiknya, kata dia, target pencapaian NZE perlu lebih cepat, mengingat berbagai risiko jika terus diundur.
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq mengatakan, dalam skenario puncak emisi pada 2035, sektor kehutahan diwajibkan menurunkan emisi GRK hampir 300 juta ton CO2. Ironisnya, sektor kehutanan saat ini masih menghasilkan emisi GRK.
"Hari ini saja sektor kehutanan masih plus. Hari ini sektor kehutanan belum ada tanda-tanda melampaui batas nol. Di (tahun) 2035, itu sudah skenario paling dramatis yang kita lakukan,"tutur Hanif, Kamis (28/8/2025).
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya