KOMPAS.com - Korban dan penyintas tindak pidana kekerasan seksual harus mendapat pendampingan, perlindungan, dan pemenuhan hak-haknya.
Hal tersebut disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga saat berkunjung ke Palu, Sulawesi Tengah.
"Meskipun anak-anak ini merupakan korban dari kekerasan seksual, mereka merupakan generasi penerus bangsa yang memiliki masa depan cerah untuk menggapai cita-cita," ucap Puspa, sebagaimana dilansir dari situs web Kementerian PPPA, Sabtu (10/6/2023).
Baca juga: Menaker Ida Tegaskan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja Tak Bisa Ditoleransi
"Pendekatan yang lebih intens dengan pihak-pihak terkait lainnya pun menjadi penting dalam memastikan hak-hak penyintas terpenuhi," sambungnya.
Di sisi lain, keberanian dari penyintas untuk menyuarakan dan melaporkan kejadian yang dialaminya juga perlu mendapat apresiasi.
Pasalnya, suara dari korban merupakan kunci keberhasilan dalam penurunan angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
Keberanian korban dan penyintas kekerasan seksual dalam bersuara dan melapor dapat mencegah berulangnya kejadian serupa dan memberikan efek jera bagi pelaku.
Salah satu upaya agar para penyintas dan korban mau bersuara dan melapor adalah meluaskan kampanye Dare to Speak Up atau Berani Berbicara.
"Sosialisasi dan kampanye Dare to Speak Up atau Berani Berbicara pun dilakukan secara kontinu sehingga mulai banyak korban dan penyintas TPKS yang menyuarakan dan melaporkan kejadian yang dialaminya," ujar Puspa.
Selain itu, kehadiran psikolog klinis juga menjadi kunci penting dalam hal perlindungan dan pemenuhan hak korban.
"Psikolog memiliki peranan penting dalam proses pemulihan agar korban tidak lagi trauma dan mampu kembali menjadi bagian dalam tataran kehidupan sosial," papar Puspa.
Baca juga: Pemkot Tangerang Siap Kawal Kasus Dugaan Kekerasan Seksual di SDN Poris Pelawad 4 dan 6
Puspa menyampaikan, Kementerian PPPA telah bekerjasama dengan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) dalam memberikan penguatan maupun pendampingan bagi sumber daya manusia yang terjun menangani korban.
Penguatan sumber daya manusia tersebut dimaksudkan agar mereka mampu menangani kompleksitas kasus tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) yang terjadi di Indonesia.
Puspa menekankan, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di daerah dapat berkoordinasi langsung dengan Tim SAPA 129 jika sekiranya membutuhkan bantuan yang lebih komprehensif dalam manajemen penanganan kasus.
Baca juga: Pemkab Garut Berharap Ada Regulasi Kebiri untuk Pelaku Kekerasan Seksual Anak
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya