Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revisi Permen PLTS Atap Berpotensi Dorong Masyarakat Keluar dari Jaringan PLN

Kompas.com - 09/09/2023, 19:22 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Meski memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT) yang sangat besar, tetapi pemerintah Indonesia diperkirakan akan sulit mencapai target bauran energi sebesar 23 persen pada tahun 2025.

Tahun ini saja baru mencapai 12,3 persen. Artinya dalam dua tahun pemerintah harus menggenjot capaian EBT hingga 10,7 persen. Salah satu bauran energi terbarukan yang diandalkan adalah PLTS Atap.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Yudo Dwinanda Priaadi mengatakan, PLTS Atap merupakan salah satu program yang didorong oleh pemerintah untuk mengisi gap pencapaian target bauran energi terbarukan.

Karenanya pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendorong pertumbuhan PLTS Atap, salah satunya adalah Peraturan Menteri (Permen) Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang saat ini sedang menunggu pengesahan Pemerintah.

Baca juga: Akselerasi EBT, SUN Energy Resmikan PLTS Terbesar di Sektor Pendidikan Indonesia

Namun, revisi Permen ini dipandang sebagai langkah mundur yang bisa mematikan minat pelanggan, baik rumah tangga, sosial, dan Industri.

Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan dan Regulasi, Teknologi, dan Pengembangan Industri Surya, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Bambang Sumaryo, pada dasarnya adanya revisi Permen ini akan membunuh minat masyarakat untuk memasang PLTS Atap on-grid atau yang tersambung ke grid PLN.

“Tetapi, apa yang akan masyarakat lakukan? Masyarakat itu pada umumnya sangat picky (sangat memilih), begitu melihat suatu kemungkinan tertutup, akan mencari peluang atau open opportunity yang lain. Dan open opportunity yang lain itu adalah off-grid," tutur Bambang dalam Diskusi Media bertema “Perubahan Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021, Mampukah Mendorong Capaian Energi Baru Terbarukan di Indonesia?”

"Ini artinya revisi regulasi tersebut akan mendorong masyarakat untuk menjauh atau berpisah dari grid yang istilah akademisnya grid defection, dan ini bahaya”, jelas Sumaryo.

Lebih jauh Sumaryo mengatakan, jika masyarakat sudah telanjur grid defected, atau meninggalkan grid, maka akan sangat sulit untuk menarik kembali ke grid. Akan diperlukan upaya yang sangat luar biasa untuk menarik kembali menjadi pelanggan PLN.

Baca juga: Eropa Borong dan Simpan PLTS, Mayoritas dari China

Hal senada dikemukakan Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim, bila dibandingkan dengan Permen sebelumnya, dan juga menurut beberapa pelaku usaha, dengan tidak adanya ekspor tetap dihitung walaupun kapasitas bebas daya tariknya akan turun.

“Nah kalau sebanyak yang bisa tanpa ekspor tentu hal ini tidak akan menggenjot, padahal kalau kita mau meningkatkan bauran energi terbarukan, yang paling bisa diandalkan dengan cepat dan dengan luas itu adalah PLTS," ujar Herman.

Jadi peraturan ini, kata dia, harus diuji secara simulasi, apakah dengan peraturan ini serta-merta investasi di bidang PLTS baik oleh industri baik bukan industri itu akan menarik.

Lebih lanjut Herman mengatakan, PLTS Atap sebetulnya salah satu opsi untuk mendorong pengembangan energi terbarukan.

Pemerintah, dalam hal ini PLN itu tidak perlu melakukan investasi pembangunan pembangkit, karena tingkat partisipasi dan minat yang sangat tinggi dari masyarakat, baik rumah tangga maupun industri.

Baca juga: PLTS Selamatkan Eropa dari Krisis Energi akibat Gelombang Panas

Perbaikan peraturan ini harus memberi peluang, supaya ada insentif ekspor yang dihitung sehingga menarik bagi pelanggan, tetapi PLN juga tidak boleh dirugikan.

Menurut Herman, ada tiga hal harus diatur, yaitu tentang kapasitas yang dibatasi 100 persen, kedua tentang harga yang dianggap dibeli atau harganya sama dengan 65 persen, karena dari energi yang diekspor yang diakui hanya 65 persen.

Sekarang dalam Permen Nomor 26 diakui 100 persen kapasitasnya, tetapi akibatnya PLN merasa kurang, agak dirugikan atau tidak pada posisi yang ikut win-win dengan adanya PLTS Atap.

“Sebetulnya peraturan yang diperlukan adalah harga tetap sama dengan 1 banding 1. Jadi kalau dia beli dari PLN misalnya harganya 1.500 ya ekspornya dibayar 1.500 juga. Cuma yang perlu dibatas adalah berapa energi boleh diekspor," imbuh Hemarn.

Hal lain yang dikeluhkan oleh masyarakat dan pelaku industri, menurut Sumaryo adalah terkait perizinan. Baik keterlambatan maupun adanya keenganan untuk mengabulkan persetujuan.

Baca juga: Progres Terbaru Rencana PLTS 300 MegaWatt Harita di Pulau Obi

Padahal permintaan terhadap PLTS Atap juga tercatat meningkat tajam dari tahun ke tahun. Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, pelanggan PLTS Atap secara Nasional per Juli 2023 mencapai 105,42 mega watt, yang berasal dari 7.472 pelanggan.

Jumlah pelanggan terbesar dari rumah tangga sebesar 17 persen dan kapasitas terbesar dari satu industri sebesar 47 persen.

Potensinya sendiri secara nasional mencapai 32,5 gigawatt baik dari pelanggan golongan rumah tangga, industri, bisnis, sosial maupun pemerintah.

Kementerian juga menargetkan bangunan PLTS Atap secara bertahap sebesar 3,61 giga watt sampai dengan tahun 2025 (tahun 2023 ditargetkan sebesar 900 megawatt dan tahun 2024 sebesar 1,8 giga watt).

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com