JAKARTA, KOMPAS.com - Kesiapan transisi energi Indonesia 2023 tidak mengalami perubahan alias jalan di tempat dibanding tahun 2022.
Dari delapan variabel yang diukur, yang mendapat nilai paling rendah adalah kemauan dan komitmen politik yang belum selaras dengan kebutuhan mitigasi gas rumah kaca sesuai dengan peta jalan 1,5 derajat celsius.
Demikian penilaian Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Menurutnya, kebijakan energi Indonesia saat ini belum memadai untuk menekan emisi gas rumah kaca, hanya akan menurunkan 20 persen proyeksi emisi pada 2030, dan akan terus meningkat hingga tahun 2060.
"Perkembangan energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan, contohnya, berjalan lambat ditandai dengan total tambahan kapasitas terpasang hanya 1 GW sampai 2023, jauh dari target yang dietetapkan sejak tahun 2021 sebesar 3,4 GW," ungkap Fabby.
Baca juga: Percepat Transisi Energi Perlu Terobosan Kebijakan
Sebaliknya, produksi batubara semakin meningkat. Hingga akhir Oktober 2023, produksi batubara telah berada pada 619 Mt, dan diperkirakan akan melampaui 700 Mt pada tahun 2023, melebih target pemerintah pada 2023 sebesar 695 Mt.
Adapun jumlah total kapasitas PLTU batubara on grid dan captive coal plant sekitar 44 GW dan diproyeksikan akan meningkat menjadi 73 GW pada 2030. Hal ini akan meningkatkan emisi gas rumah kaca menjadi sekitar 414 juta ton setara karbondioksida (MtCO2e) pada 2030.
Sementara Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) mencatat tidak terdapat kenaikan yang signifikan untuk kapasitas energi terbarukan dan kontribusi pada bauran energi terbarukan.
Pemanfaatan energi terbarukan hanya mencapai 1 GW pada 2023 dari target Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang menetapkan 3,4 GW pada periode yang sama.
Oleh karena itu, Fabby menegaskan, pemerintah harus mau membatasi izin pengembangan PLTU captive setelah 2025 dan memandatkan pemilik kawasan industri untuk mengoptimalkan pemanfaatan energi terbarukan dan menurunkan emisi dari PLTU yang telah beroperasi sesuai dengan target peak emission sektor kelistrikan 2030 dan net-zero emission 2060 atau lebih awal.
Baca juga: Indonesia Harus Segera Rampungkan Konsolidasi Transisi Energi
Agar transisi energi dapat berjalan cepat maka perlu adanya kesamaan visi transisi energi yang hemat biaya (cost effective) oleh presiden dan pembuat kebijakan kunci di Indonesia. Kesamaan visi akan menentukan keberlanjutan komitmen politik dan peta jalan yang optimal.
Selain itu, ia juga menyoroti lambatnya transisi energi di Indonesia disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan politik, kurangnya kapasitas aktor, dan beban kebijakan masa lalu.
Untuk itu, ia menekankan perlunya no regret policy atau kebijakan yang sudah dipastikan akan memberikan manfaat sosial ekonomi menyeluruh.
"Terlepas dari perubahan yang mungkin terjadi, dan reformasi anggaran publik dan reformasi PLN untuk mempercepat proses transisi energi," imbuh Fabby.
Selain itu, Indonesia perlu peta jalan yang koheren untuk mencapai NZE 2060 atau lebih cepat. Saat ini baru sektor kelistrikan yang paling banyak kemajuannya, sektor transportasi dan industri masih berada di tahap awal.
"Pemerintah perlu pula melibatkan masyarakat agar tercipta transisi yang adil. Dengan nilai dan sejarah bangsa Indonesia, transisi energi harusnya dapat dilakukan dengan gotong-royong,” tandasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya