JAKARTA, KOMPAS.com - Proyek pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) atau Waste to Energy (WtE) berpotensi menjadi beban baru bagi pemerintah Indonesia dan PT PLN (Persero). Proyek WtE hanya akan meningkatkan biaya pokok penyediaan (BPP) yang dikeluarkan untuk menyalurkan listrik dari pembangkit ke konsumen.
Proyek WtE memang bisa menjadi sumber ekonomi baru yang berpotensi mengurangi permasalahan sampah di Indonesia. Namun, proyek WtE juga berisiko menimbulkan permasalahan lain nantinya, yang justru disebabkan kurangnya pasokan sampah.
Pasokan sampah secara agregat perlu diperhitungkan, mengingat investasi proyek WtE bernilai triliunan rupiah untuk pengadaan fasilitasnya dan direncanakan memenuhi kebutuhan energi dalam jangka panjang.
Baca juga: Dukung Pemerintah Bangun 33 PLTSa pada 2029, PLN Siap Jadi Kunci Ekosistem Waste-to-Energy
"Jaminan pasokan menjadi prasyarat penting. Kalau dihilirnya memang sudah ada harga, tetapi kalau pasokan dan teknologinya seperti apa? Jangan sampai sudah berjalan 3-4 tahun, suplai di daerah-daerah tiba-tiba berkurang," ujar Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov kepada Kompas.com, Kamis (4/12/2025).
Di sisi lain, proyek WtE juga bermasalah dari sisi permintaan (demand). Meski fasilitas PLTSa hanya akan dibangun di daerah dengan pasokan sampah besar dan berkelanjutan dalam jangka panjang berdasarkan hasil pemetaan, tetapi siapa yang akan mengonsumsi listriknya.
Proyek WtE perlu mempertimbangkan sejauh mana pertumbuhan permintaan listrik di daerah-daerah di mana fasilitas PLTSa akan dibangun.
Dalam kondisi eksisting, PLN saat ini menghadapi situasi kelebihan pasokan (oversupply) listrik yang melebihi permintaan.
Proyek WtE malah akan menambah permasalahan oversupply listrik yang belum terjawab oleh berbagai kebijakan pemerintah. Konsumsi listrik per kapita di Indonesia yang masih rendah tidak akan mampu mengimbangi kecepatan suplai, terutama kalau proyek WtE sudah berjalan.
Menurut Abra, rendahnya permintaan listrik erat kaitannya dengan menurunnya kontribusi sektor industri terhadap perekenomian atau deindustrialisasi yang saat ini dihadapi Indonesia.
"Meski benar mengurangi sampah, (proyek WtE) itu menjadi inefisiensi. Itu sudah tertangkap dari awal bahwa proyek ini (akan) rugi, bukan hanya bakar sampah, tapi juga bakar uang," tutur Abra.
Memang, saat ini pemerintah sudah siap konsekuensi proyek WtE yang akan memaksanya menyalurkan subsidi atas tambahan listrik baru tersebut.
Sebelumnya, juru kampanye energi Trend Asia, Novita Indri Pratiwi menilai, proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di 33 kabupaten/kota, hanya akal-akal saja.
Ia khawatir proyek PLTSa yang dikategorikan oleh pemerintah sebagai energi baru terbarukan (EBT), dapat menjadi legitimasi bagi produsen untuk melepas tanggung jawabnya atas sampah yang dihasilkan dari produknya.
Padahal, tanggung jawab tersebut sudah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
Baca juga: Trend Asia Nilai PLTSa Bukan EBT, Bukan Opsi Tepat Transisi Energi
"Nah, ketika misalnya muncul nih ya, inisiatif-inisiatif PLTSa, dengan proyeksi akan membutuhkan sampah sekian banyak gitu, lalu bagaimana dengan tanggung jawab produsen Mereka akan makin longgar tanggung jawabnya untuk menarik kembali sampah-sampah plastiknya," ujar Novita di Jakarta, Selasa (4/11/2025).
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya