KOMPAS.com - Banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dipicu tergerusnya daya dukung lingkungan akibat ekspansi perkebunan sawit yang tidak terkendali.
Berdasarkan riset Sawit Watch pada 2022, nilai batas atas sawit di Indonesia dengan pendekatan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (D3TLH), Pulau Sumatera telah mengalami defisit ekologis.
Luas tutupan sawit di Sumatera telah mencapai 10,70 juta hektar. Secara faktual, nilai tersebut sudah melampaui nilai batas atas sawit Pulau Sumatera sebesar 10,69 juta hektar. Lainnya, permasalahan yang muncul adalah terletak pada distribusi spasial penanaman.
Baca juga: Konflik Agraria di Balik Banjir Sumatera, Mayoritas Disebut Dipicu Perkebunan Sawit
Merujuk pada Peta Penggunaan Lahan (PPL) terdapat 5,97 juta hektare perkebunan sawit di Sumatera berada di dalam wilayah Variabel Pembatas atau wilayah yang secara hidrologis dan fisik yang tidak layak untuk tanaman monokultur.
Diketahui, wilayah Variabel Pembatas berfungsi untuk melindungi keanekaragaman hayati dan habitatnya dari ekspansi sawit.
Ketika hutan di area variabel pembatas dikonversi menjadi perkebunan sawit monokultur, lanskapnya akan kehilangan kemampuan alaminya yang berfungsi seperti penyerap. Imbasnya, memicu aliran permukaan ekstrem yang berujung terjadinya bencana banjir bandang di Sumatera.
"Hanya kebun sawit eksisting yang dapat dipertahankan tanpa ada peluang ekspansi baru di Sumatera. Temuan ini menegaskan perlunya pengendalian ketat terhadap perluasan sawit untuk memastikan keberlanjutan ekologis dan kepastian tata ruang,” ujar Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch dalam keterangan tertulis, Jumat (5/12/2025).
Hasil analisis spasial Sawit Watch mengungkapkan adanya tumpang tindih antara tutupan sawit, area berisiko, dan wilayah terdampak banjir bandang. Temuan tersebut menampilkan jalur dan sebaran banjir bandang yang melanda Aceh, Mandailing Natal, dan Pesisir Selatan.
Di Aceh, banjir bandang terjadi pada lanskap yang di dalamnya terdapat 231.095,73 hektar konsesi perkebunan sawit. Lalu, di Mandailing Natal, Sumatera Utara, wilayah yang terdampak banjir bandang memiliki sekitar 65.707,93 hektar konsesi perkebunan sawit.
Sedangkan banjir bandang di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, terjadi pada wilayah dengan 24.004,33 hektar konsesi perkebunan sawit. Jadi, total ada 320.807,98 hektar konsesi perkebunan sawit dalam bentang lanskap yang mengalami banjir bandang.
Ratusan hektar konsesi perkebunan sawit tersebut menggambarkan bahwa banjir bandang di Sumatera bukan hanya dipicu curah hujan ekstrem dan anomali cuaca. Namun, juga erat kaitannya dengan tata kelola ruang serta tekanan terhadap daya dukung lingkungan dan daerah tangkapan air yang berada di dalam maupun sekitar konsesi perkebunan sawit berskala besar.
"Kombinasi faktor hidrologis dan ekspansi konsesi di zona sensitif menyebabkan risiko banjir menjadi semakin tinggi dan berdampak luas,” tutur Surambo.
Menurut Surambo, banjir bandang di Sumatera tersebut menjadi sinyal keras dari alam bahwa D3TLH telah terlampaui. Perbaikan tata kelola perkebunan sawit bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sudah menjadi keharusan mendesak demi keselamatan rakyat dan keinginan ekonomi jangka panjang.
Baca juga: Kerugian Banjir Sumatera Capai Rp 68 T, Celios Desak Moratorium Tambang dan Sawit
Maka, kata dia, perlu adanya pengendalian ketat terhadap ekspansi perkebunan sawit. Penataan ulang pemanfaatan ruang harus dilakukan di seluruh Indonesia, bukan hanya di Sumatera. Ini agar tekanan terhadap D3TLH tidak semakin memperburuk dampak bencana hidrometeorologi di masa mendatang.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya