KOMPAS.com - Ekspansi perkebunan sawit yang tidak terkendali disebut memicu banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Bahkan, ekspansi perkebunan sawit di Sumatera sudah menerobos wilayah Variabel Pembatas, area yang secara hidrologis dan fisik tidak layak untuk tanaman monokultur.
Diketahui, wilayah Variabel Pembatas berfungsi untuk melindungi keanekaragaman hayati dan habitatnya dari ekspansi sawit. Merujuk pada Peta Penggunaan Lahan (PPL), terdapat 5,97 juta hektar perkebunan sawit di Sumatera berada di dalam wilayah Variabel Pembatas.
Baca juga:
Kepala Departemen Riset, Kampanye dan Kebijakan Publik Sawit Watch, Hadi mendesak pemerintah melakukan audit secara menyeluruh terhadap seluruh izin perkebunan sawit di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Termasuk, izin perkebunan sawit di zona variabel pembatas di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Ekspansi perkebunan sawit perlu ditekan dengan penerapan kebijakan penghentian total tanpa batas waktu untuk pengeluaran izin baru pembukaan lahan atau moratorium secara permanen.
“Perekonomian tidak bisa tumbuh di atas tanah yang longsor atau wilayah yang banjir. Solusinya bukan dengan melakukan ekstensifikasi (ekspansi lahan), melainkan intensifikasi (peningkatan produktivitas) melalui peremajaan kebun rakyat yang sudah ada," ujar Hadi dalam keterangan tertulis, Jumat (5/12/2025).
Ekspansi perkebunan sawit perlu ditekan dengan penerapan kebijakan penghentian total tanpa batas waktu untuk pengeluaran izin baru pembukaan lahan.Berdasarkan riset Sawit Watch pada 2022, skenario moratorium permanen yang disertai peremajaan sawit rakyat (replanting) berpotensi memberikan hasil (output) ekonomi lebih tinggi, mencapai Rp 30,5 triliun pada tahun 2045.
Sebaliknya, skenario ekspansi tanpa batas (business as usual) diproyeksikan hasil (output) negatif atau minus sebesar Rp 30,4 triliun. Hal tersebut disebabkan membengkaknya biaya sosial, penananan bencana, serta hilangnya jasa lingkungan.
Di sisi lain, rencana pengembangan mandatori B50 pada tahun 2026 memicu gelombang deforestasi baru.
"Pemerintah secara terbuka menyampaikan rencana ekspansi sawit seluas 600.000 hektar tahun depan. Untuk itu kami menilai penting bagi pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan dan target bauran biodisel ini,” tutur Hadi.
Baca juga:
Ekspansi perkebunan sawit perlu ditekan dengan penerapan kebijakan penghentian total tanpa batas waktu untuk pengeluaran izin baru pembukaan lahan.Sebelumnya, Kementerian Pertanian (Kementan) berencana melakukan perluasan perkebunan sawit sekitar 600.000 hektar pada 2026.
Rencana tersebut terdiri dari 400.000 hektar perkebunan plasma sawit yang dikelola petani rakyat, serta 200.000 hektar perkebunan inti sawit dengan kepemilikan oleh negara atau swasta.
Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma Kementan, Baginda Siagian mengatakan, sekitar 200.000 hektar perkebunan inti sawit kemungkinan akan dikelola BUMN, tepatnya PT Agrinas Palma dan Palm Co.
"Nanti, kalau memang BUMN-nya kesulitan ya ke swasta tadi," ujar Baginda dalam acara 21st Indonesian Palm Oil Conference and 2026 Price Outlook (IPOC2025) di Bali, Kamis (13/11/2025) lalu.
Perluasan perkebunan tersebut bertujuan mendukung berbagai produk turunan dari minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), seperti oleopangan, oleokimia, dan biodiesel. Perluasan perkebunan tersebut untuk memenuhi permintaan ekspor dan kebutuhan dalam negeri, termasuk mandatori B50.
Baca juga:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya