KOMPAS.com - Siklon tropis mulai diklasifikasikan sebagai "senyar", Rabu (26/11/2025), di perairan timur Kabupaten Aceh Timur. Mulanya, bibit siklon tropis ini terdeteksi berkembang di Selat Malaka, Jumat (21/11/2025).
Aceh dan Sumatera Utara relatif dekat dengan lokasi awal terbentuknya bibit siklon. Namun, mengapa Sumatera Barat yang relatif jauh turut terdampak siklon tropis senyar?
Baca juga:
Foto udara sampah dari kayu gelondongan yang hanyut di danau Singkarak di Nagari Muaro Pingai, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Minggu (30/11/2025). Menteri LH Panggil 8 Perusahaan Imbas Gelondongan Kayu di Banjir SumateraSiklon tropis senyar, yang berputar dan membawa angin, akan terkonvergensi saat gerakannya melambat. Awan hujan terbentuk selama proses konvergensi dan meningkatkan kerentanan daerah dari sisi datangnya angin itu.
Angin dan besarnya putaran siklon tropis Ssnyar mengakibatkan sisi sebelah barat Sumatera ikut diguyur hujan.
"Ada pegunungan Bukit Barisan yang memisahkan, (sehingga) cenderung lebih basah di sebelah barat daripada sebelah timur, seperti Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan. Jadi, ini seperti efek orografi," ujar Menurut Dosen Program Studi Meteorologi, Institut Teknologi Bandung (ITB), Muhammad Rais Abdillah dalam webinar, Minggu (30/11/2025).
Dari segi faktor klimatologi, siklon tropis memang cenderung mudah terjadi pada bulan November. Namun, ada pula anomali lain yang turut menginisiasi siklon yaitu suhu muka laut (sea surface temperature/SST) dan coriolis.
Baca juga: KLH Telusuri Sumber Gelondongan Kayu yang Terbawa Banjir Sumatera
Kondisi sebagian permukiman warga di Nagari Salareh Aia Timur, Palembayan, Agam, Sumatera Barat pada Jumat (5/12/2025) masih porak poranda. Sejumlah rumah di Jorong Subarang Aia bahkan hilang tersapu banjir bandang dan tertimbun lumpur.Indonesia terletak di "kolam panas" yang mendukung terbentuknya siklon tropis. Kenaikan suhu muka laut menjadi bahan bakar utama perkembangan siklon tropis.
Imbasnya, suhu muka laut yang bertambah panas akan mensuplai uap air lebih banyak dan udara menjadi semakin tidak stabil.
"Kalau dilihat, di ekuator paling panas sebenarnya Indonesia ya. Tapi, di ekuator tuh sangat sedikit siklonnya. Jadi, memang itu butuh gaya coriolis dan ini sebanding dengan letak lintang," tutur Rais.
Di sisi lain, kejadian siklon sering terjadi pada bulan September, Oktober, dan November, bertepatan dengan transisi pergeseran pita hujan. Hal ini dipengaruhi posisi matahari, dengan dominasi di selatan pada Desember-Januari dan di utara pada Juni-Agustus.
Kondisi ini membuat wilayah seperti Sumatera, Kalimantan, serta Malaysia, rentan terhadap pembentukan awan konvektif dan hujan.
"Jadi memang, secara iklim, secara pola musiman itu sangat favorable ya, ditambah dengan adanya La Nina yang walaupun relatif lemah, itu akan mendukung tentunya suplai uap air berlebih dan lebih hangat juga di daerah Indonesia, walaupun tidak terlalu signifikan anomali SST-nya," ucapnya.
Baca juga: Konflik Agraria di Balik Banjir Sumatera, Mayoritas Disebut Dipicu Perkebunan Sawit
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya