Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Irvan Mahmud Asia
Pengamat dan Penulis

Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Agraria dan Sumber Daya Alam (PPASDA); Wasekjen DPP Pemuda Tani HKTI

Kedaulatan Pangan dan Harga Diri Bangsa

Kompas.com - 02/02/2024, 14:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEJAK orde baru hingga kini, politik kebijakan pangan Indonesia masih terfokus pada beras. Selama puluhan tahun pula, cara-cara revolusi hijau dilakukan dan dampak negatifnya telah kita rasakan bersama pada dua dekade terakhir.

Seperti ketergantungan pada benih hibrida impor, input pupuk kimia dan pestisida -- turut berkontribusi pada perubahan ekologis, tidak hanya lingkungan, tetapi hara tanah, kesehatan petani dan konsumen.

Hegemoni negara telah menciptakan beras sebagai mental bangsa. Tahun 1980-an, pemerintahan Suharto mencanangkan program swasembada beras dan keberhasilan swasembada tahun 1984 diikuti dengan penyeragaman makanan pokok.

Sejak itupula negara telah menerjemahkan pangan sama dengan beras. Cara pandang ini mempersempit makna swasembada pangan menjadi swasembada beras sebagai tolok ukur ketahanan pangan.

Ini kesesatan pikir yang membuat bangsa ini tidak berdaulat pangan di tengah diversity sumber pangan yang melimpah.

Pertumbuhan permintaan pangan dan pertumbuhan kapasitas produksi begitu kontras. Akibatnya puluhan triliun rupiah dihabiskan untuk menutupi gap tersebut.

Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2017 mencatat bahwa periode 1983 sampai 2016, Indonesia hanya mampu melakukan ekspor komoditi pangan (beras, jagung, kedelai, daging) sebesar 2,4 juta ton. Sebaliknya volume impor pangan sebesar 35 juta ton.

Artinya volume impor pangan Indonesia 14 kali lebih besar dari volume ekspor pada periode tahun yang sama.

Dalam konteks inilah, sebagai bangsa sebenarnya belum merdeka sepenuhnya. Sebagaimana nasihat Mahatma Gandhi, seorang tokoh pembebasan India mengatakan,“bagaimana negara bisa sepenuhnya merdeka, bila pangan rakyatnya tak bisa dicukupi sendiri”.

Memang ada periodisasi (tahun-tahun tertentu kita tidak impor), namun tidak serta merta menutup masalah kelaparan seperti yang terjadi di Papua dan NTT, misalnya. Aspek keterjangkuan (harga) adalah faktor penting.

Oleh karenanya, kebijakan negara—pemerintah tidak hanya terfokus pada ketersediaan, tetapi memastikan akses masyarakat menengah kebawah pada pangan.

Amartya Sen (1981) dalam bukunya Poverty and Famines: An Essay On Entitlement and Deprivation menemukan bahwa kerawanan pangan dan kelaparan yang terjadi dalam suatu masyarakat bukan hanya soal produksi dan ketersediaan semata.

Studi Sen menunjukan kalau kelaparan di Afrika dan India terjadi karena ketiadaaan akses atas pangan (terkait dengan pendapatan per kapita). Bahkan ketika produksi pangan sedang melimpah. Oleh karena itu, produksi pangan yang cukup bukan faktor tunggal, hanya salah satu faktor.

Kedaulatan pangan adalah harga diri bangsa. Bahkan pangan adalah soal hidup matinya bangsa dan petani adalah soko guru bangsa Indonesia. Ungkapan Presiden pertama Indonesia Bung Karno tersebut masih dan akan tetap relevan.

Pangan bukan sekadar persoalan perut, tetapi menyangkut kedaulatan bangsa. Tak berlebihan jika petani merupakan salah satu elemen kunci penjaga NKRI, muliakan mereka.

Kedaulatan suatu negara ditentukan oleh kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh masyarakat secara aman, sehat, terjangkau, dan secara berkelanjutan.

Dalam artian, bukan saja produksi yang bertumbuh, tetapi memastikan secara ekologi aman; aspek ekonomi--petani sebagai produsen terjamin kesejahteraannya, distribusi pangan lancar; dan merata di seluruh wilayah.

Potensi Indonesia untuk berdaulat pangan sangat besar. Bandulnya ada pada Presiden terpilih hasil pemilu 2024.

Ide dan gagasan adalah awal sumbu penerang, kemana pembangunan pangan kita akan dibawa. Agar pemenuhan hak atas pangan (hak asasi) dapat diwujudkan maka ihwal perubahan ini dimulai dengan paradigma kekuasaan melihat masalah dan tantangan sektor pangan.

Paradigma ketahanan pangan telah terbukti gagal. Saatnya ditinggalkan, beralih pada “kedaulatan pangan” dengan strategi diversifikasi, baik produk maupun konsumsi.

Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dijelaskan “Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal”.

Pemerintahan baru mesti memastikan UU Nomor 18 Tahun 2012 khususnya bagian diversifikasi dijalankan.

Ada dua hal penting yang perlu dipenuhi: usaha memproduksi bahan pangan serta pengadaan dan distribusi bahan pangan baik secara kuantitas maupun kualitas.

Dua hal tersebut menjadi hak rakyat dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan; mulai skala rumah tangga, regional hingga nasional.

Usaha memproduksi pangan harus dilihat sebagai hak rakyat. Hak rakyat untuk menunjukan kemandirian memenuhi kebutuhan pangan dengan dukungan penuh dari negara. Bukan sekadar “strategi” pemenuhan hak asasi, tetapi bagian penting pertahanan suatu negara.

Kemudian memastikan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) terimplementasi.

Pasal 1 ayat (3) disebutkan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.

Tantangan bagi Presiden mendatang adalah apakah akan mengubah klausul dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, yang menghendaki dalam hal untuk kepentingan umum dan/atau Proyek Strategis Nasional LP2B dapat dialihfungsikan.

Artinya Lahan Sawah Dilindungi (LSD) sewaktu-waktu akan berubah ke non-pertanian.

Implikasi peraturan ini meliputi: pertama, penurunan produksi pangan. Alih fungsi lahan sawah dapat mengurangi luas lahan yang digunakan untuk pertanian dan sudah pasti penurunan produksi pangan. Dampaknya ketergantungan pada impor pangan terus berlanjut.

Kedua, kerugian ekologis. Padahal lahan sawah memainkan peran penting dalam menjaga keberlanjutan ekologis seperti menyimpan air, mengurangi risiko banjir, dan menjaga keanekaragaman hayati.

Ketiga, konflik sosial. Alih fungsi lahan sawah dapat memicu konflik sosial antara pemilik lahan dan pemerintah, atau petani dengan pihak-pihak yang melakukan alih fungsi lahan tersebut.

Konflik sosial dapat mengganggu stabilitas sosial dan politik. Singkatnya, semua instrumen hukum dan kebijakan yang baik harus diimplementasikan secara konsisten dan kebijakan masa lalu yang buruk di amandemen—perbaikan.

Selanjutnya perbaikan data. Negara harus hadir untuk menyediakan data berkualitas, objektif dan mudah diakses.

Data tersebut menjadi penting terutama untuk mendukung setiap proses perencanaan hingga pengambilan keputusan termasuk mendukung R&D, inovasi dan investasi.

Lokus utama dari semua itu adalah mengembangkan kemampuan produksi dalam negeri yang didukung kelembagaan demoktratis dan politik angggaran yang memadai, pendekatan teknokratik, partisipatif masyarakat tak terkecuali masyarakat adat, dan memastikan tidak merusak lingkungan.

Dengan memaksimalkan modal sosial bangsa ini: sumberdaya yang melimpah ruah, tanah yang subur, iklim yang mendukung, sampai budaya bertani yang sudah menjadi nadi kita selama ratusan tahun, maka kebijakan-strategi-manajemen-personalia untuk menjalankannya berada dalam satu orkestrasi presiden untuk mewujudkan visi besar “Indonesia Berdaulat Pangan”.

Ini menjadi dasar untuk meletakan pangan Indonesia sebagai tanggung jawab konstitusional dan tanggung jawab moral dan berdikari.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com