KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, menilai rencana penurunan target energi terbarukan di 2025 tidak tepat, karena tidak sesuai dengan komitmen net zero emission pada 2060.
Sebelumnya, pemerintah melalui Dewan Energi Nasional (DEN) tengah menyusun pembaruan atau revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Dalam revisi PP KEN tersebut, target bauran energi terbarukan memang diturunkan, dari 23 persen menjadi antara 17 sampai 19 persen pada 2025.
"Menurut kami, itu adalah pengingkaran terhadap komitmen atau target kita Net Zero Emission di 2060 atau lebih awal," ujar Fabby, dalam webinar Pojok Energi-Sinyal "Edge" Transisi Energi, Rabu (7/2/2024).
Baca juga: Target EBT Diturunkan, Kredibilitas Indonesia Dipertanyakan
Hal tersebut juga bertentangan dengan aksi-aksi di seluruh dunia, salah satunya dalam COP28 yang digelar akhir 2023 lalu.
Salah satu keputusan COP28 yang melibatkan sekitar 200 negara, sepakat untuk bertransisi dari bahan bakar fosil, untuk memenuhi target Paris Agreement.
Jika dibandingkan dengan Indonesia yang malah berencana menurunkan target energi terbarukan, Fabby menyebut sejumlah negara bahkan berinisiatif melakukan tiga kali percepatan EBT.
"Kalau kita lihat ada inisiatif yang mencoba melakukan tripling renewable energy 2030, targetnya adalah secara global energi terbarukan mencapai 11.000 GW di seluruh dunia di tahun 2030," tuturnya.
Fabby memandang Indonesia seharusnya dapat memainkan strategi yang mampu mencapai target bauran energi terbarukan yang tinggi, alih-alih menurunkan targetnya.
Ia mengatakan, energi terbarukan harus naik besar-besaran. Bauran EBT sampai 40-45 persen sama dengan menambah energi baru terbarukan hingga 60-70 GW.
"Menurut hitungan IESR, kalau kita mau selaras dengan NZE 2060 atau lebih awal maka memang bauran energi di 2030 mencapai 40-45 persen," ucapnya.
"Harusnya 40-45 persen kalau kita mau selaras dengan Paris Agreement. Bahkan lebih dari itu, tergantung pada jenis bauran energi terbarukan yang akan kita buat," imbuh Fabby.
Apalagi, berbagai kebijakan yang ada seperti Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik dan kesepakatan JETP telah menempatkan Indonesia dalam kondisi konsolidasi untuk ‘lepas landas’ transisi energi.
‘Lepas landas’ transisi energi sendiri, selayaknya sebuah pesawat, memerlukan kondisi optimalnya dengan berbagai komitmen politik yang kuat, kebijakan yang memadai, dan strategi yang matang.
Sayangnya, kehadiran RPP KEN ini dapat menunda percepatan transisi energi di Indonesia dan menghambat masyarakat Indonesia untuk menikmati manfaat yang lebih besar dari pengembangan energi terbarukan.
Fabby menuturkan, Indonesia akan terlambat mengalami murahnya harga listrik energi terbarukan, penurunan emisi, penciptaan lapangan kerja hijau, dan perkembangan industri manufaktur serta rantai pasok energi terbarukan.
"Kalau kita peaking-nya semakin lama, maka kalau kita mau turun 2050 untuk sektor kelistrikan bahkan 2060 untuk seluruh sektor energi turunnya akan sangat curam. Biasanya sesuatu yang ekstrem itu berat. Tidak hanya berat dalam arti adopsi teknologi harus lebih cepat, biaya lebihnya mahal, kemudian risiko yang dihasilkan tidak mencapai target juga tinggi," pungkasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya