Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 07/03/2024, 12:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

Dampak krisis iklim seperti banjir, kekeringan, dan asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) memengaruhi produktivitas kelapa sawit melalui beberapa hal seperti pergeseran musim panen, menurunnya kualitas, rusaknya tanaman, hingga potensi kematian tanaman.

Selain krisis iklim, faktor lain yang memengaruhi ketersediaan minyak goreng adalah penggunaan kelapa sawit untuk campuran biodiesel.

Ahmad menuturkan, salah satu cara menuju pangan yang berkelanjutan adalah melihat kembali kearifan lokal dari para petani daerah yang sudah mempunyai mekanisme adaptasi perubahan iklim.

Baca juga: Pemprov Jateng Raih 3 Penghargaan Bidang Pangan dari Bapanas

Ia mencontohkan masyarakat adat di Kasepuhan, Banten Selatan, yang memiliki berbagai jenis varietas padi yang sudah disesuaikan dengan berbagai musim.

Selain itu, mereka juga memiliki sistem prediksi awal musim tanam yang cukup baik dengan akurasi yang bahkan bisa menyaingi model prediksi kontemporer.

Menurutnya, hal ini penting untuk memberikan masukan yang berharga bagi pemerintah. Ia juga menekankan pentingnya diversifikasi sistem pertanian dibanding menggunakan satu sistem yang sama untuk semua daerah.

“Pada kenyataannya, setiap daerah memiliki keunikan dan kebutuhan tersendiri yang harus dipertimbangkan,” tutur Ahmad.

Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Supari mengatakan, selama 10 tahun terakhir iklim ekstrem kerap terjadi baik itu El Nino, La Nina, maupun Indian Ocean Dipole (IOD).

Baca juga: Presidium GKIA Luncurkan Buku MPASI Kaya Protein Berbasis Pangan Lokal

Hanya pada 2016, kondisi iklim global mengami fase netral ketika Indonesia mengalami musim kemarau.

Jika La Nina benar akan hadir pada 2024, maka musim kemarau akan terjadi dengan sifat lebih basah.

Hal ini akan baik untuk tanaman padi karena air tercukup, namun mungkin tidak cukup baik untuk tanaman hortikultura seperti sayuran dan cabai karena curah hujan yang berlebihan.

Ia menegaskan pentingnya memahami informasi iklim ekstrem untuk mengurangi risiko dan dampaknya.

Pemerintah, kata Supari, perlu meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai literasi iklim, khususnya bagi para petani yang sebagian besar terdiri dari generasi muda.

“Sehingga mereka melek teknologi informasi dan itu merupakan peluang untuk memberikan pemahaman pada setiap petani untuk mengurangi dampak risiko iklim ekstrem,” ungkapnya.

Baca juga: Pemerintahan Baru Punya PR Bikin Terobosan Energi, Pangan, dan Kesehatan

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com