KOMPAS.com - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta pemerintah untuk membentuk pemantau femisida atau femicide watch.
Pembentukan badan pemantau tersebut untuk mengenali dan membangun mekanisme pencegahan, penanganan, dan pemulihan terhadap keluarga korban femisida.
Anggota Komnas Perempuan Retty Ratnawati mengatakan, pembentukan pemantau femisida sesuai dengan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau CEDAW.
Baca juga: Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida
"Pemerintah harus segera mengumpulkan, menganalisis, dan mempublikasikan data statistik tentang femisida sebagai pelaksanaan dari rekomendasi umum Komite CEDAW Nomor 35 tahun 2017 dengan membentuk mekanisme femicide watch," kata Retty sebagaimana dilansir Antara, Minggu (12/5/2024).
Retty menuturkan hal tersebut menanggapi tewasnya perempuan dalam sejumlah kasus pembunuhan belakangan ini.
Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelamin atau gendernya dan sebagai akibat eskalasi kekerasan berbasis gender yang terjadi sebelumnya.
Retty Ratnawati mengatakan kasus indikasi femisida yang kuat pada 2020 terpantau ada 95 kasus, pada 2021 ada 237 kasus, pada 2022 terpantau 307 kasus, dan pada 2023 terpantau 159 kasus yang indikatornya berkembang seiring perkembangan pengetahuan tentang femisida.
Baca juga: Femisida di Balik Pembunuhan Satu Keluarga di Penajam Paser Utara oleh Siswa SMK
"Pantauan setiap tahunnya menempatkan femisida intim, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar atau pasangan kohabitasi sebagai jenis femisida tertinggi," katanya.
Anggota Komnas Perempuan Rainy Hutabarat menambahkan, selain femisida intim, kerentanan perempuan menjadi korban femisida juga dialami oleh perempuan disabilitas.
Selain itu, perempuan pekerja seks dari pengguna jasanya, muncikari, transpuan, dan perempuan dengan orientasi seksual minoritas.
Rainy menuturkan, pembeda utama femisida dengan pembunuhan biasa adalah adanya motivasi gender.
Baca juga: Ayah Diduga Bunuh 4 Anaknya di Jagakarsa, Komnas Perempuan: Bukti KDRT Berpotensi pada Femisida
Dia menambahkan, umumnya femisida dilatarbelakangi oleh lebih dari satu motif.
"Dari motif yang teridentifikasi di antaranya cemburu, ketersinggungan maskulinitas, menolak bertanggung jawab, kekerasan seksual, menolak perceraian atau pemutusan hubungan," kata Rainy.
Motif-motif tersebut menurut dia, menggambarkan superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan, serta rasa memiliki perempuan, dan ketimpangan relasi kuasa laki-laki terhadap perempuan.
"Termasuk dari kasus-kasus yang terjadi beberapa hari ini," tutur Rainy.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya