BOGOR, KOMPAS.com - Program Manager CLASP Indonesia Nanik Rahmawati mengatakan, selama ini peran alat elektronik rumahan yang hemat energi masih sering dipandang sebelah mata dalam konteks transisi energi.
Padahal, alat elektronik hemat energi dapat membantu menurunkan emisi secara signifikan dengan cost effective alias pembiayaan yang efektif.
"Peran peralatan elektronik hemat energi sangat krusial sebetulnya untuk menurunkan emisi ke depan," kata Nanik di Bogor, Senin (10/6/2024).
Baca juga: Emil Salim Institute Luncurkan Buku Transisi Energi, Energi Baru dan Terbarukan
Menurut publikasi CLASP berjudul Net Zero Hero, peralatan elektronik bertanggung jawab atas 39,3 persen emisi karbon dioksida terkait energi di seluruh dunia.
Emisi tersebut sama dengan kira-kira total emisi karbon dioksida dari China, Eropa, dan Brasil.
Di samping itu, penggunaan alat elektronik hemat energi akan berdampak langsung terhadap beban daya listrik yang digunakan sehari-hari.
Di Indonesia, peralatan hemat energi diatur melalui Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) dan Label Tanda Hemat Energi (LTHE).
Baca juga: Paramount dan noovoleum Olah Minyak Jelantah Jadi Energi Terbarukan
Semakin banyak bintang LTHE pada sebuah peralatan elektronik, maka semakin efisien konsumsi energinya. Sehingga semakin murah tagihan yang didapatkan.
Di sisi lain, pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia mengenai SKEM dan LTHE masih sangat minim yakni 6 persen menurut survei CLASP Residential End Use Survey 2019.
"Penting untuk tidak sekadar membangun pembangkit listrik. Tapi juga perlu mitigasi di sektor permintaan melalui SKEM dan LTHE," ujar Nanik.
Koordinator Pengawasan Konservasi Energi Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Endra Dedy Tamtama mengatakan, kini ada tujuh peralatan telah diwajibkan mencantumkan SKEM dan LTHE.
Baca juga: Sekjen PBB Sebut Industri Energi Fosil Godfather Krisis Iklim
Ketujuh peralatan elektronik itu adalah pengkondisi udara atau AC, penanak nasi, kipas angin, kulkas, lampu LED, televisi, dan showcase (lemari pendingin minuman).
Endra berujar, penerapan energi efisiensi, salah satunya dengan penggunaan alat elektronik hemat energi, adalah hal yang paling mudah diterapkan daripada membangun pembangkit listrik.
"Lebih mudah melakukan efisiensi energi daripada membangun (pembangkit) EBT (energi baru terbarukan) karena membutuhkan lahan dan lain sebagainya," papar Endra.
Ketika melakukan efisiensi energi secara besar-besaran di semua sektor, termasuk penggunaan alat hemat enerfi, kebutuhan akan listrik bisa ditekan.
Sehingga, hal tersebut dapat membantu mengurangi investasi yang dibutuhkan untuk membangun pembangkit.
Baca juga: DMO Bikin RI Ketergantungan Batu Bara, Susah Move On ke Energi Terbarukan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya