Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jika Tak Berubah, Indonesia Mustahil Capai Target Net Zero 2060

Kompas.com - 04/07/2024, 15:00 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

 JAKARTA, KOMPAS.com - Studi terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR) memperkirakan capaian target bauran energi terbarukan Indonesia akan lambat, bahkan tidak akan melebihi 30 persen pada 2060, jika Indonesia hanya bertumpu pada kebijakan saat ini tanpa strategi yang terukur.

Padahal, untuk menekan kenaikan suhu bumi yang menyebabkan krisis iklim, Indonesia perlu mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan sebagai strategi untuk mencapai target nol emisi bersih atau net zero emissions (NZE) pada 2060.

Baca juga: Karena AI, Emisi Karbon Google Meroket 48 Persen

IESR menilai, untuk mencapai target bauran energi terbarukan dan penurunan emisi sektor energi secara signifikan, kebijakan seperti KEN, RUEN, RUKN, RUPTL, dan finalisasi RUU EBET harus mencakup peningkatan target penurunan emisi dan skema yang mendukung pencapaian tersebut secara terukur.

Koordinator Grup Riset Sumber Daya Energi dan Listrik IESR, His Muhammad Bintang mengatakan, sejauh ini, sektor ketenagalistrikan menjadi andalan pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan energi terbarukan.

“Namun itu (ketenagalistrikan) pun kita menemukan bahwa implementasinya masih dapat dikatakan lamban,” ujar Bintang dalam diskusi media bertajuk “Update Isu dan Kebijakan Transisi Energi di Indonesia,” yang digelar di Jakarta, Rabu (3/7/2024).

Lambatnya pertumbuhan sektor ketenagalistrikan, kata dia, terlihat dari pembangkit energi terbarukan yang baru mencapai sekitar 1 GW hingga tahun 2023, jauh dari target awal sebesar 3,4 GW yang ditetapkan pada 2021.

Sebab lambatnya energi terbarukan di Indonesia

Terdapat beberapa penyebab lambannya implementasi energi terbarukan. Pertama, kata dia, rendahnya permintaan energi dibandingkan proyeksi menyebabkan kondisi overcapacity terutama pada sistem Jawa-Bali.

“Kedua, lapangan tanding yang tidak setara, pembangkit energi terbarukan dipaksa bersaing dengan pembangkit listrik tenaga batubara dengan regulasi Domestic Market Obligation (DMO),” terangnya.

Baca juga: Kejar Nol Emisi Karbon, ABB Dorong Kolaborasi dengan Industri

Ketiga, integrasi energi terbarukan variabel seperti PLTS dan PLTB menghadapi tantangan teknis dari kondisi sistem jaringan listrik saat ini.

“Keempat, beberapa peraturan seperti tingkat komponen dalam negeri (TKDN) belum sesuai dengan kondisi saat ini dan mempengaruhi pengembangan proyek energi terbarukan,” imbuh Bintang.

Ia menjelaskan, saat ini pemerintah tengah melakukan pembaruan beberapa regulasi dan kebijakan pada sektor energi.

Oleh karena itu, menurutnya, pelaku industri, masyarakat sipil, serta berbagai pihak lainnya perlu mengawal dan memberi masukan agar pembaruan tersebut dapat menjadi solusi kendala pengembangan energi terbarukan selama ini.

Indonesia perlu tingkatkan regulasi

Pegawai pabrik Sido Muncul mengecek panel surya yang dipasang di atap pabrik, Minggu (13/8/2023).KOMPAS.COM/Titis Anis Fauziyah Pegawai pabrik Sido Muncul mengecek panel surya yang dipasang di atap pabrik, Minggu (13/8/2023).

Di sisi lain, peluang untuk menaikkan bauran energi terbarukan terbuka luas dengan meningkatnya kebutuhan energi, terutama dalam sektor industri. Namun, tren transisi energi di berbagai negara akan memberikan risiko gangguan rantai suplai teknologi energi terbarukan.

Oleh karena itu, Indonesia dinilai perlu segera meningkatkan kemandirian untuk memenuhi kebutuhan transisi energi dengan mengembangkan industri energi terbarukan domestik.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau