KOMPAS.com - Negara pencemar terbesar di dunia telah melewatkan tenggat waktu PBB untuk menyerahkan target iklim baru pada 10 Februari.
Hampir 200 negara telah menandatangani Perjanjian Paris untuk mengekang pemanasan global.
Berdasarkan perjanjian tersebut, berbagai negara diharapkan menyerahkan target iklim nasional baru ke PBB yang menetapkan bagaimana rencana untuk memangkas emisi pada tahun 2035.
Namun, seperti dikutip dari Reuters, Selasa (11/2/2025) banyak negara pencemar terbesar di dunia, termasuk China, India dan Uni Eropa belum melakukannya.
Sementara negara-negara ekonomi besar yang telah mengumumkan rencana iklim baru termasuk AS, Inggris, Brasil, Jepang, dan Kanada.
Kendati demikian, AS diperkirakan akan membatalkan kontribusinya karena penarikan diri pemerintahan Trump dari Perjanjian Paris.
Baca juga: Bank Tetap Biayai Investasi Batu Bara meski Ada Target Iklim
Kepala iklim PBB Simon Stiell mengatakan minggu lalu sebagian besar negara telah mengindikasikan bahwa mereka masih akan menyusun rencana mereka tahun ini.
Kesepakatan iklim Paris 2015 mengikat negara-negara untuk mencoba menghindari pemanasan global yang melebihi 1,5 C (2,7 derajat Fahrenheit) di atas tingkat pra-industri.
Tindakan yang diambil hingga saat ini masih jauh dari pemangkasan emisi besar-besaran yang akan mencapai tujuan ini. Tahun lalu adalah tahun pertama yang menembus 1,5 C pemanasan.
Melansir Phys, tidak ada sangsi untuk keterlambatan penyerahan target yang disebut nationally determined contributions (NDCs) ini.
NDC tidak mengikat secara hukum, tetapi bertindak sebagai ukuran akuntabilitas untuk memastikan negara-negara menanggapi perubahan iklim dengan serius dan melakukan bagian yang adil untuk mencapai tujuan Paris.
Namun tenggat waktu yang terlewati menambah kekhawatiran bahwa aksi iklim telah gagal dengan beberapa pejabat mengisyaratkan bahwa pembalikan arah kebijakan iklim AS mengganggu upaya negara lain.
"Jelas ada beberapa pergeseran geopolitik yang sedang berlangsung yang terbukti menjadi tantangan dalam hal kerja sama internasional, terutama pada isu-isu besar seperti perubahan iklim," kata Ebony Holland dari International Institute for Environment and Development.
Seorang juru bicara Uni Eropa mengatakan target kolektif itu akan diumumkan sebelum konferensi iklim COP30 PBB pada bulan November.
Sedangkan para analisis mengatakan China diharapkan merilis NDC pada paruh kedua tahun 2025.
Sementara itu Evans Njewa, diplomat Malawi dan ketua kelompok Negara-negara Terbelakang, mengatakan banyak negara miskin tidak memiliki sumber daya keuangan dan keahlian teknis untuk menyusun kebijakan ekonomi yang kompleks seperti itu.
"Penghasil emisi besar, yang polusi historis dan berkelanjutannya telah mendorong krisis iklim, harus bertanggung jawab dan memimpin dengan memberi contoh," katanya.
Negara-negara secara konsisten terlambat mengajukan pembaruan berkala untuk NDC mereka sejak kesepakatan Paris ditandatangani pada tahun 2015.
"Krisis iklim yang memburuk tidak akan menunggu atau menghentikan dampak bencananya karena negara-negara menunda rencana aksi mereka," kata Tracy Carty dari Greenpeace International.
Linda Kalcher, direktur eksekutif lembaga pemikir Strategic Perspectives, mengatakan dalam beberapa kasus lebih baik negara-negara bekerja untuk menyempurnakan proposal yang berkualitas, daripada terburu-buru mengeluarkan sesuatu yang lebih lemah.
"Kekhawatirannya adalah jika terlalu banyak negara menunda itu dapat menimbulkan persepsi bahwa mereka tidak bersedia bertindak," paparnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya