Oleh Angga Ariestya*
KOMPAS.com - Mengikuti tren fesyen kini makin mudah dengan kehadiran platform daring: sekali klik, pakaian baru masuk keranjang dan bisa langsung check out. Ada tren baru dengan diskon mantap? Tinggal beli lagi. Tanpa disadari, pakaian pun menumpuk di lemari, padahal jarang dipakai.
Fast fashion, berkembang pesat lewat pengaruh media sosial dan influencer, membuat pakaian trendy dengan harga murah kian menjamur dan menarik minat masyarakat untuk berbelanja, tampil gaya, dan selalu mengikuti mode terbaru. Namun, kebiasaan ini membuat banyak anak muda terjebak dalam siklus pembelian impulsif yang tak hanya boros, tetapi juga menyumbang emisi dan permasalahan lingkungan.
Fenomena ini memunculkan gerakan slow fashion yang mengajak kita lebih sadar, selektif, dan bertanggung jawab dalam belanja fesyen.
Dari mana asal-muasal emisi pakaian?
Emisi pakaian berasal dari proses produksi dan juga limbah setelah konsumsi. Proses produksi pakaian seperti pewarnaan dan pemintalan kain butuh energi besar dan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang besar pula. Produksi 1 kilogram kain, misalnya, bisa menghasilkan antara 20-23 kg gas rumah kaca.
Baca juga: Bagaimana London Fashion Week Mendorong Fashion Berkelanjutan?
Setelah pakaian digunakan, masalah masih berlanjut. Sekitar 73 persen tekstil berujung sebagai limbah, dan hanya kurang dari 1 persen yang didaur ulang. Pembakaran pakaian bekas melepaskan zat kimia berbahaya dan mikroplastik ke udara, menghasilkan lebih banyak emisi gas rumah kaca dan memperburuk kualitas lingkungan.
Secara global, industri fesyen menyumbang 92 juta ton sampah pakaian yang menumpuk di tempat pembuangan akhir setiap tahunnya. Di Indonesia, limbah tekstil diperkirakan mencapai 2,3 juta ton per tahun, dan diprediksi akan naik hingga 70 persen jika tidak ada intervensi apapun.
Slow fashion sebagai solusi
Slow fashion mendorong konsumen agar lebih bijaksana dalam mengonsumsi pakaian dengan pergeseran pola pikir dari kuantitas ke kualitas, sehingga umur pakaian lebih panjang dan berkualitas tinggi. Dengan begitu, konsumen tidak perlu sering-sering membeli pakaian.
Di ranah etis, gerakan ini menantang industri fast fashion yang sering kali mengabaikan permasalahan tenaga kerja, seperti peristiwa runtuhnya Rana Plaza yang menewaskan ribuan pekerja garmen di Bangladesh pada 2013 lalu.
Slow fashion fokus pada penghormatan dan pemberian kompensasi yang adil. Komoditas produksinya juga dimaksimalkan berbasis kerajinan produk yang dibuat oleh pekerja berketerampilan tinggi dan sumber lokal.
Masalahnya, riset yang saya lakukan bersama tim menunjukkan ada banyak tantangan dan butuh kerja ekstra untuk membuat tren ini menjadi gaya hidup masyarakat.
Berikut adalah beberapa tantangan sekaligus solusi untuk perkembangan slow fashion:
1. Fesyen berkelanjutan masih mahal
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya