KOMPAS.com - Sebuah studi menemukan bahwa perubahan iklim kemungkinan akan memengaruhi rantai pasokan darah dunia.
Kenapa bisa begitu?
Menurut penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Palang Merah Lifeblood dan Universitas Sunshine Coast (UniSC) di Australia, jumlah orang yang bersedia dan mampu mendonorkan darah bisa menurun karena kesehatan dan kondisi cuaca ekstrem.
Sementara, pada saat yang sama, kebutuhan akan darah justru berpotensi melonjak.
Peneliti dari institusi itu berpendapat, perubahan iklim dapat memperluas penyebaran penyakit yang ditularkan melalui darah seperti demam berdarah atau malaria yang dapat memengaruhi kesehatan pendonor dan meningkatkan kebutuhan akan transfusi darah untuk mengobati penyakit tersebut.
“Perubahan iklim dapat memengaruhi beberapa penyakit menular yang dapat ditularkan melalui darah dan dapat mencegah orang untuk mendonorkan darah,” kata Dr. Elvina Viennet, salah satu peneliti studi dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Euronews, Senin (21/4/2025).
Baca juga: Perubahan Iklim Ancam Situs Arkeologi di Pesisir
Selanjutnya, bencana alam dan cuaca ekstrem seperti banjir atau kebakaran hutan yang frekuensi dan intensitasnya dapat meningkat akibat perubahan iklim.
Situasi tersebut dapat mengganggu pengumpulan dan distribusi darah serta meningkatkan kebutuhan akan transfusi darah bagi para korban.
"Selain membatasi mobilitas sejumlah besar orang, kejadian ini mengganggu penyimpanan, keamanan, dan transportasi darah yang memiliki masa simpan pendek," imbuh Viennet.
Sebagai gambaran, setiap tahun 25 juta unit darah ditransfusikan di Eropa.
Unit-unit tersebut dibutuhkan untuk perawatan pasien yang menjalani operasi, bayi prematur, korban kecelakaan, dan pasien yang hidup dengan kondisi kronis.
Perubahan iklim juga dapat memengaruhi konsentrasi hemoglobin (sel darah merah) dan juga tekanan darah.
"Kita dapat melihat munculnya penyakit baru, dan masalah kesehatan lainnya seperti tekanan darah dan hidrasi, yang diperburuk oleh panas, serta tekanan psikologis dan 'kecemasan iklim' yang memengaruhi pendonor," kata Helen Faddy, seorang profesor madya di UniSC dan penulis utama penelitian.
"Pada saat yang sama, pergeseran prevalensi penyakit dan frekuensi bencana alam dapat meningkatkan permintaan transfusi darah karena kondisi seperti komplikasi kehamilan, penyakit kardiovaskular, dan penyakit sel sabit," tambahnya.
Peneliti pun mengusulkan atau menyarankan beberapa cara untuk mengurangi atau mengatasi dampak negatif gangguan pada pasokan dan permintaan darah akibat perubahan iklim.
Baca juga: Lonjakan Permintaan dan Perubahan Iklim Sebabkan Kurangnya Pasokan Tenaga Surya
Salah satu strategi yang disarankan adalah pusat donor darah yang fleksibel dan mobile.
Ini bisa membantu menjangkau pendonor di berbagai area, terutama saat terjadi bencana alam atau gangguan transportasi.
Strategi lain adalah cell salvage yang merupakan bentuk autotransfusion.
Cell salvage adalah proses mengumpulkan dan memproses darah pasien yang hilang selama operasi atau cedera, untuk kemudian ditransfusikan kembali kepada pasien yang sama.
Autotransfusion sendiri berarti transfusi darah menggunakan darah pasien sendiri. Strategi ini dapat mengurangi ketergantungan pada donor darah alogenik (dari orang lain).
Strategi terakhir yang disebutkan adalah kerja sama antar negara. Ini bisa melibatkan berbagi sumber daya darah, informasi, dan praktik terbaik dalam menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim terhadap pasokan darah secara global.
"Dengan naiknya permukaan laut yang meningkatkan tingkat migrasi, penting untuk memiliki lebih banyak donor darah dari berbagai latar belakang etnis, dan untuk meningkatkan jumlah orang yang mendonorkan darah," kata Faddy.
Studi dipublikasikan di The Lancet Planetary Health.
Baca juga: Ekonomi 11 Negara Asia-Pasifik Rentan Terdampak Perubahan Iklim, Mana Saja?
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya