KOMPAS.com - Perekonomian sejumlah negara di kawasan Asia Pasifik rentan terguncang akibat dampak perubahan iklim.
Temuan tersebut mengemuka berdasarkan laporan badan PBB Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP) yang dirilis baru-baru ini.
Secara keseluruhan, laporan tersebut menguraikan sejumlah tantangan yang menguji ketahanan ekonomi kawasan Asia Pasifik akibat krisis iklim.
Baca juga: Trump Teken Perintah Eksekutif Blokade Aturan Iklim di Negara Bagian
Tantangan-tantangan yang dianalisis yakni pertumbuhan produktivitas yang lebih lambat, risiko utang publik yang tinggi, dan meningkatnya ketegangan perdagangan.
Dari 30 negara yang dianalisis, 11 negara diidentifikasi lebih rentan terhadap risiko iklim dari perspektif ekonomi makro.
Ke-11 negara tersebut adalah Afghanistan, Kamboja, Iran, Kazakhstan, Laos, Mongolia, Myanmar, Nepal, Tajikistan, Uzbekistan, dan Vietnam.
Sekretaris Eksekutif ESCAP Armida Salsiah Alisjahbana mengatakan, meningkatnya ketidakpastian ekonomi global dan semakin dalamnya risiko iklim juga membuat para pembuat kebijakan menjadi tidak mudah dalam mengambil kebijakan fiskal dan moneter.
"Menavigasi lanskap yang terus berkembang ini tidak hanya membutuhkan kebijakan nasional yang baik tetapi juga upaya regional yang terkoordinasi untuk menjaga prospek ekonomi jangka panjang dan mengatasi perubahan iklim," kata Armida dikutip dari siaran pers, Rabu (9/4/2025).
Baca juga: BMKG Hadirkan Layanan Cuaca dan Iklim untuk Ketahanan Pangan
Laporan tersebut juga menyebutkan, ada kesenjangan yang signifikan dalam kemampuan masing-masing negara di Asia Pasifik dalam mengatasi problem iklim.
Beberapa negara di kawasan tersebut telah memobilisasi pendanaan iklim yang cukup besar dan mengadopsi kebijakan hijau.
Di sisi lain, ada beberapa negara yang juga menghadapi berbagai kendala seperti kendala fiskal, sistem keuangan yang lebih lemah, dan kapasitas pengelolaan keuangan publik yang terbatas.
Di samping itu, pertumbuhan produktivitas tenaga kerja di Asia Pasifik juga melambat secara signifikan sejak krisis keuangan global tahun 2008.
Hal tersebut ditandai dengan stagnannya konvergensi pendapatan atau mengecilnya perbedaan pendapatan antara daerah atau kelompok ekonomi dari waktu ke waktu.
Baca juga: Perubahan Iklim dan Deforestasi Sebabkan Sejumlah Jamur Terancam Punah
Antara tahun 2010 hanya 2024, hanya 19 dari 44 negara berkembang Asia-Pasifik yang mengalami konvergensi pendapatan.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi rata-rata di negara-negara berkembang di kawasan Asia-Pasifik melambat menjadi 4,8 persen pada 2024, dari sebelumnya 5,2 persen pada tahun 2023 dan 5,5 persen selama lima tahun sebelum pandemi Covid-19.
Untuk mengamankan kemakmuran ekonomi jangka panjang, laporan tersebut menggarisbawahi perlunya dukungan pemerintah yang proaktif dalam peningkatan ke sektor ekonomi yang lebih produktif dan bernilai tambah lebih tinggi.
Kawasan ini juga perlu memanfaatkan daya saingnya yang kuat dalam industri hijau dan rantai nilai sebagai mesin baru pertumbuhan ekonomi.
Negara-negara di kawasan itu juga perlu merangkul kerja sama ekonomi regional yang inklusif yang bisa menjadi aspirasi pembangunan negara-negara maju dan berkembang.
Baca juga: Sektor Asuransi Tak Mampu Tawarkan Perlindungan jika Krisis Iklim Makin Parah
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya