JAKARTA, KOMPAS.com— Indonesia adalah salah satu produsen kelapa terbesar dunia. Sayangnya, selama ini sebagian besar potensi itu berakhir sebagai bahan mentah murah yang dikirim ke luar negeri.
Banyak dari bagian kelapa sabut yang dibuang, air kelapa yang diabaikan, dan daging kelapa hanya berhenti sebagai kopra.
“Indonesia dengan wilayah pesisir yang luas memiliki potensi besar menghasilkan kelapa dan turunannya. Tapi potensi ini belum dimanfaatkan dengan optimal,” ujar Deputi Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN, R. Hendrian sebagaimana dikutip dari keterangan resminya pada Kamis (24/04/2025).
Baca juga: Kelapa Langka dan Mahal, Pakar IPB Ungkap Sebabnya
Oleh sebab itu, untuk memanfaatkan potensi kelapa agar menjadi komoditas yang memberikan nilai tambah ekonomi, namun tetap tidak memberikan dampak buruk kepada lingkungan.
Dalam kaitan tersebut, BRIN menandatangani nota kesepahaman dengan PT Walindo Mitra Bersama untuk membangun industri kelapa yang tidak menyisakan limbah.
Kerja sama ini mulai dilaksanakan dengan BRIN yang mengembangkan bioleather dari nata de coco.
Bioleather lembaran hasil fermentasi bakteri yang diproses menyerupai kulit, menggunakan pewarna alami dari biji mete (CNSL) dan pelapis dari minyak linseed dan turpentine.
Hasil dari inovasi tersebut adalah alternatif kulit yang tidak melibatkan hewan, tidak sintetis, dan bisa terurai secara hayati sehingga tidak menjadi limbah.
Selain itu, reaktor produksinya juga dirancang dengan sistem sirkulasi cairan dan polimerisasi simultan, teknologi yang memberikan dampak baik cukup besar kepada lingkungan, sebab teknologi tersebut membuat proses pembuatan bioleather lebih efisien, bersih, dan terkontrol.
Baca juga: Dosen IPB Tingkatkan Kualitas Pepaya dan Cabai dengan Geotekstil Sabut Kelapa
Selain itu, BRIN juga mengembangkan produk MCT (Medium Chain Triglyceride) dari VCO dan minyak kelapa.
MCT merupakan suplemen yang banyak digunakan dalam dunia kesehatan dan pangan fungsional. Di pasar global, nilai jual MCT jauh di atas minyak kelapa biasa.
Namun, untuk memberikan keuntungan nilai ekonomi yang tinggi kepada negara semua riset harus dilakukan di dalam negeri, dengan bahan lokal, dan ditujukan untuk industri lokal.
“Belum ada inovator yang mampu memaksimalkan kelapa tanpa menyisakan limbah. Itu yang ingin kami capai,” kata Heriadi Kaboel, Direktur Utama PT Walindo.
Alih-alih hanya fokus pada konsumen akhir, kolaborasi ini menyasar jantung persoalan keberlanjutan, yaitu sistem produksi.
Baca juga: Peneliti BRIN Kembangkan Bahan Bakar Pesawat Berbahan Minyak Kelapa
Bagaimana memanfaatkan semua bagian kelapa dari mulai airnya, sabutnya hingga tempurungnya bukan untuk “tampil hijau”, tapi untuk menghentikan pola ekonomi linier yang menghasilkan limbah setiap detiknya.
Lebih dari sekadar proyek riset, inisiatif ini adalah pengingat bahwa keberlanjutan tidak selalu terlihat keren di Instagram. Ia bisa lahir dari pabrik, dari laboratorium, juga dari sawah asalkan ada niat membangun sistem yang adil, bersih, dan berakar pada kekayaan lokal.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya