KOMPAS.com — Negara-negara kepulauan kecil di kawasan Pasifik mendesak negara-negara besar, khususnya anggota G20, untuk segera menyerahkan Rencana Iklim Nasional (NDC) baru yang dan sejalan dengan target 1,5 derajat Celsius sebelum Sidang Umum PBB bulan September.
Surat terbuka yang ditandatangani oleh para pemimpin negara Small Island Developing States (SIDS) menegaskan bahwa dunia berada di ambang gagal memenuhi janji yang disepakati dalam Perjanjian Paris 2015.
Mereka mengatakan bahwa saat ini kenaikan suhu Bumi sudah lebih dari 1 derajat Celsius. Tanpa komitmen baru yang konkret, batas 1,5 derajat Celcius akan terlampaui dalam waktu dekat.
“Batas 1,5 derajat Celsius untuk tetap hidup bukan sekadar slogan," tulis pemimpin negara Small Island Developing States (SIDS) sebagaimana dikutip dari surat terbukanya yang diterima Kompas.com pada Senin (28/04/2025)
Mereka mengatakan, jika semuanya menyerah pada target ini, negara-negara besar ini bukan hanya membiarkan seluruh komunitas di Pasifik menghadapi kehancuran karena pemanasan global, tetapi juga seluruh dunia.
Berbeda dari pernyataan diplomatik biasanya, surat ini menuntut agar National Determined Contribution (NDC) yang baru harus fokus pada pengurangan emisi dalam negeri, bukan sekadar mengandalkan upaya negara-negara ini untuk mengimbangi emisi karbon yang dihasilkan oleh kegiatan industri di negaranya.
Dalam suratnya, mereka mendesak agar negara-negara yang masih menjadi produsen bahan bakar fosil— termasuk raksasa minyak dan gas — mempresentasikan rencana transisi yang realistis sesuai dengan rekomendasi dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) dan Badan Energi Internasional (IEA)
Tidak hanya itu, mereka juga menuntut penghentian seluruh pendanaan internasional untuk proyek bahan bakar fosil dan mendesak negara-negara besar untuk mencabut subsidi untuk energi kotor, sebuah janji yang sudah dibuat lebih dari 15 tahun lalu namun hingga kini belum terealisasi.
Mereka juga mengatakan bahwa mereka merasa frustasi karena lambatnya negosiasi iklim global yang tidak kunjung rampung sejak pertemuan perubahan iklim dunia yang ke-29 (COP29) di Baku, sehingga negara-negara pulau kecil dan negara berkembang untuk pertama kalinya melakukan walkout dari pembicaraan.
Oleh sebab itu, kini mereka membawa isu perubahan iklim ke Mahkamah Internasional (ICJ), untuk menegaskan bahwa mengabaikan krisis ini berarti melanggar kewajiban hukum internasional.
Adanya surat ini memperingatkan bahwa keterlambatan aksi akan membawa risiko bencana besar.
Bukan hanya pemanasan global yang semakin buruk, juga bisa mengakibatkan runtuhnya sistem pangan, kehancuran ekonomi, gelombang migrasi massal, dan ketidakstabilan global.
"Kita sedang menghadapi ancaman putaran bencana berulang, dari bencana alam, kehancuran ekosistem, kelaparan, dan migrasi besar-besaran," tulis mereka. "Kemanusiaan, visi, dan kerja sama adalah satu-satunya jalan keluar."
Dalam surat tersebut, mereka juga mengatakan, jika hingga September 2025 negara-negara besar gagal menunjukkan kemajuan, negara-negara kepulauan berjanji akan menuntut revisi target iklim secara cepat dan mendesak dunia untuk mempercepat implementasi kebijakan iklim.
"Bumi sudah dalam kondisi kritis. Ini kesempatan terakhir kita," tegas mereka.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya