Beberapa waktu ke belakang, berita mengenai bencana alam di sekitar sebuah pertambangan nikel yang membawa banyak korban, bahkan ada yang meninggal, mengemuka. Ini bukanlah kabar buruk pertama.
Telah berderet masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup yang dikemukakan atas proses pertambangan dan hilirisasinya, sehingga isu implementasi kaidah Environmental Social Governance (ESG) sering mengemuka. Apa yang harus dilakukan?
Semua memahami, nikel dibutuhkan dunia untuk bertransisi ke sistem energi terbarukan yang lebih berkelanjutan. Nikel adalah sumber daya alam yang sangat strategis.
Baca juga: Tantangan Industri Nikel RI: Tekanan Global hingga Kampanye Negatif
Dunia sedang bergerak menuju modernisasi yang membutuhkan nikel sebagai salah satu bahan baku dari proses produksi tersebut, dari komponen baterai yang digunakan di alat elektronik, kendaraan listrik, pengendali beban listrik besar, hingga baja anti-karat.
Indonesia telah menjadi eksportir produk nikel terbesar dunia. Permintaan dunia akan nikel melonjak signifikan disebabkan oleh sektor energi terbarukan dan kendaraan listrik.
Pada tahun 2021, permintaan dunia mencapai 2,8 juta ton. Pada tahun 2030, International Energy Agency memperkirakan bahwa permintaan akan melonjak hingga 4,8 juta ton.
Permintaan nikel untuk baterai kendaraan listrik diperkirakan akan melonjak dari 81 ton pada tahun 2020 menjadi 987 ton pada tahun 2040.
Lebih dari setengah dari ekspor nikel dunia berasal dari Indonesia. Pada 2023, Indonesia memproduksi sekitar 1,8 juta ton atau sekitar 50-55 persen produksi dunia.
Konon, Indonesia memiliki cadangan nikel sangat besar. 2,6 miliar ton berada di Sulawesi Tengah, Tenggara, dan Selatan; 1,4 miliar ton lagi di Maluki dan Maluku Utara; dan 60 juta ton di Papua dan Papua Barat.
Sayangnya, proses penambangan dan industri hilirisasi nikel masih penuh dengan kontroversi. Ekonom (Almarhum) Faisal Basri sempat mempertanyakan benefit apa yang didapatkan oleh Indonesia melalui hilirisasi bila tax holiday 5-20 tahun, pelarangan ekspor nikel mentah yang membuat harga domesik bijih nikel jatuh di bawah harga dunia, investasi yang sebagian besar dikuasai asing, dan sebagian tenaga kerja trampil diisi orang asing asing.
Masalah sosial juga menjadi hal penting untuk diperhatikan. Konflik antara pekerja lokal dengan asing sempat membawa korban meninggal. Kecelakaan kerja akibat smelter yang meledak dan terbakar juga membawa korban yang tidak sedikit.
Masalah lingkungan lebih besar lagi. Pencemaran sungai, danau, dan pesisir oleh sedimentasi tambang membunuh ekosistem sungai yang telah lama memberikan sumber penghidupan masyarakat.
Meski demikian, permasalahan pertambangan nikel ini tampaknya tidak spesifik merupakan masalah di industri nikel. Permasalahan ini hampir merata di semua praktik pertambangan, baik mineral maupun batu bara.
Baca juga: Perusahaan Tambang Nikel Mulai Tergerak Implementasikan Sustainable Mining
Artinya, bila menambang nikel sebanyak 1,8 juta untuk mendukung energi terbarukan dapat menghindari penambangan batu bara yang saat ini banyaknya lebih dari 830 juta ton pada 2024 (naik dari 686 juta ton pada 2023), mungkin ini lebih baik.
Tetapi, tentu saja perbandingan jumlah produksi pertambangan ini tidak bisa digunakan untuk berargumentasi bahwa pertambangan nikel dapat beroperasi bebas tanpa aturan. Dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang ditimbulkannya harus dikelola dengan lebih baik.
Payung hukum terkait sektor tambang di Indonesia sebenarnya sudah cukup berlapis. Regulasi lingkungan pertambangan di Indonesia mengacu pada Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Regulasi ini mengatur kewajiban perusahaan tambang untuk melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, serta menyusun rencana reklamasi dan melaksanakannya.
Secara sektoral, terdapat Peraturan Menteri ESDM No. 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan Yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dari aspek lingkungan, terdapat juga Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 5 Tahun 2022 tentang Pengolahan Air Limbah Bagi Usaha Dan/Atau Kegiatan Pertambangan Dengan Menggunakan Metode Lahan Basah Buatan.
Baca juga: APNI Tegaskan Hilirisasi Nikel Tetap Berjalan Sesuai
Selain melaksanakan Analisis Lingkungan Strategis (Strategic Environmental Assessment) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan tata cara dan tata kelola yang benar, serta pengelolaan dampak sosial dan lingkungan mengikuti peraturan yang berlaku (seperti misalnya Peraturan Menteri ESDM No. 26/2018), standar praktik pengelolaan dampak sosial dan lingkungan harus pula ditingkatkan.
Global Reporting Initiative (GRI) 14, Mining and Metallurgy Society of Indonesia (MMSGI), maupun Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia adalah beberapa standar industri yang kerap digunakan di Indonesia.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) juga telah menerbitkan panduan standar Environmental, Social, and Governance (ESG) pada 2023.
Bicara standar dalam praktik pertambangan global, ada satu nama yang perlu disebut: The Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA).
Mengapa? Karena IRMA merupakan lembaga audit independen yang dikenal paling ketat di dunia. IRMA menggunakan standar tertinggi dalam praktik pertambangan yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan. Total ada lebih dari 400 persyaratan standar IRMA yang harus dipenuhi perusahaan tambang.
Dibandingkan dengan standar keberlanjutan lain, IRMA termasuk yang paling sulit ditempuh. Anggota Dewan di IRMA termasuk lembaga-lembaga masyarakat sipil yang paling kritis di dunia.
Baca juga: Komitmen Keberlanjutan, Harita Nickel Bakal Diaudit IRMA
Untuk perusahaan pertambangan yang ingin berpartisipasi di IRMA, mereka harus menjalani audit independen oleh pihak ketiga. Beberapa tingkat kepatuhan terhadap IRMA — IRMA 50, 75, atau 100 — akan diberikan kepada penambang yang praktiknya konsisten dengan prinsip-prinsip pertambangan bertanggung jawab.
Karena itu, inisiatif perusahaan nikel untuk secara sukarela mengajukan diri menjalani proses audit IRMA layak diapresiasi.
Sebagaimana diketahui, salah satu perusahaan Indonesia yakni Harita Nickel menjadi perusahaan pertama di Indonesia yang mengajukan diri untuk diaudit IRMA.
Langkah perusahaan yang beroperasi di Pulau Obi ini kemudian diikuti oleh Vale Indonesia yang beroperasi di Sorowako.
Proses audit IRMA pada Harita Nickel bahkan tidak terbatas pada aktivitas penambangannya, tapi juga audit secara komprehensif pada fasilitas lain seperti smelter dan refinery.
Bahwa Harita Nickel dan Vale menyediakan diri secara sukarela saja sebetulnya merupakan keberanian. Terlepas dari hasil audit yang nanti akan menjadi kesimpulan IRMA, audit independen sukarela ini adalah langkah pertama dari perusahaan nikel di Indonesia yang memberi sinyal positif.
Harus disadari, untuk mendorong pengembangan industri nikel dan hilirisasinya, pemerintah telah memberikan banyak insentif fiskal yang membuat pendapatan dari industri ini untuk pemerintah terbatas.
Karenanya, banyak tanggung jawab ekonomi dan keberlanjutan ditimpakan kepada perusahaan.
Baca juga: RI harus Selesaikan Isu Sustainability Agar Produk Nikel Tembus Pasar Negara Maju
Inisiatif perusahaan tambang membuka diri terhadap audit independen yang memiliki kredibilitas seperti IRMA menjadi langkah solutif dan jawaban konkret atas isu-isu yang membelit industri pertambangan nikel seperti isu lingkungan, kecelakaan kerja, hingga dampak sosial.
Karena itu, kita berharap, makin banyak perusahaan pertambangan di Indonesia yang berani sukarela mengajukan audit independen berstandar internasional untuk mendorong praktik pertambangan yang bertanggung jawab.
Langkah ini akan berdampak positif pada aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi. Bonusnya, reputasi industri pertambangan Indonesia di mata dunia akan terjaga.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya