JAKARTA, KOMPAS.com — Indonesia harus selesaikan masalah keberlanjutan pada produk nikel agar untuk bisa tembus pasar negara maju.
Intan Salsabila Firman, Peneliti Tenggara Strategics mengatakan produk nikel dari Indonesia tidak cukup mumpuni untuk membuat Indonesia bisa menjadi salah satu dari 5 produsen baterai untuk EV pada tahun 2045.
“Harus ada roadmap yang jelas terkait produksi baterai dan apa saja komponen penyusun baterainya untuk mendukung target besar tersebut. Selain itu serangkaian masalah keberlanjutan dalam rantai pasok juga harus diselesaikan,” ujar Intan Intan Salsabila Firman dalam forum RE Invest Indonesia 2025, Indonesia as the Next EV Production Hub yang diadakan di Auditorium CSIS pada Kamis (24/04/2025).
Baca juga: Lancarkan Ekspor Nikel, Pemerintah Harus Lakukan Lobi ke AS
Intan mengatakan dibutuhkan juga regulasi dan aturan hukum yang kuat untuk mengatur keberlanjutan (sustainability).
Tanpa adanya kepastian hukum tentang keberlanjutan dan tanggung jawab dari proses produksi baterai yang Indonesia lakukan, maka jalan Indonesia untuk bisa masuk pasar negara maju bisa terhambat.
“Pasar negara maju seperti Uni Eropa memang memiliki aturan yang ketat soal jejak karbon yang dihasilkan dari suatu proses produksi industri dan bagaimana tanggung jawab keberlanjutan sebuah sektor industri,” ujar Intan.
Mereka bahkan menerapkan banyak kebijakan untuk memastikan kepatuhan sektor yang ingin masuk ke pasarnya.
Uni Eropa misalnya, akan mulai menerapkan kebijakan CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) pada 2026. Ini adalah aturan yang akan membatasi impor barang-barang dari sektor-sektor yang menghasilkan banyak karbon, termasuk industri tambang dan baterai.
Baru-baru ini kebijakan yang EUDR yang ditolak oleh Indonesia tentang regulasi Uni Eropa yang bertujuan untuk mencegah impor komoditas dan produk yang terkait dengan deforestasi ke pasarnya.
Baca juga: AS Pertimbangkan Tambang Laut Dalam untuk Cari Nikel dan Lawan China
Selain itu, di Amerika Serikat ada Undang-Undang Inflasi (Inflation Reduction Act / IRA) undang-undang yang dibuat untuk mengurangi inflasi, defisit anggaran, dan meningkatkan harga obat resep.
Tetapi disisi lain, IRA juga mendukung kepatuhan investasi dalam energi bersih dan mengurangi emisi karbon, termasuk investasi dalam pembangkit listrik energi terbarukan, baterai, dan kendaraan listrik.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya