Untuk diketahui, Iskandar sendiri merupakan salah satu investigator dalam proyek Wood Identification (Wood ID) yang diinisiasi WRI.
Proyek itu bertujuan mengurangi pembalakan liar dengan mempercepat penerapan teknologi identifikasi kayu untuk memverifikasi klaim terkait spesies serta asal-usul kayu dan produk hutan. Proyek ini juga sekaligus memperkuat penegakan hukum di Indonesia melalui pemberian bukti ilmiah terkait identifikasi kayu.
Sebagai teknologi identifikasi, Wood ID memfasilitasi pengembangan database yang menjadi sumber referensi identifikasi kayu, memungkinkan identifikasi spesies dan asal kayu secara akurat. Selain itu, Wood ID aktif berkontribusi dalam mengembangkan pedoman yang dapat menjadi panduan penanganan forensik kayu bagi lembaga penegak hukum.
Adapun sampel referensi DNA kayu diambil dari pohon-pohon yang tumbuh secara alami di berbagai wilayah Indonesia, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua.
Pengumpulan itu dilakukan secara sistematis agar dapat mewakili variasi genetik setiap spesies secara geografis. Data yang terkumpul kemudian digunakan untuk mencocokkan DNA dari sampel kayu sitaan atau temuan di lapangan.
Menurut Iskandar, metode yang paling sering digunakan untuk analisis DNA adalah barcoding dan single nucleotide polymorphism (SNP). Barcoding cocok untuk mengidentifikasi jenis kayu berdasarkan gen standar, sedangkan SNP digunakan untuk mengetahui asal geografis dengan ketelitian tinggi.
"Misalnya, kayu merbau yang berasal dari Papua memiliki profil SNP yang berbeda dari merbau yang tumbuh di Sulawesi," jelasnya.
Baca juga: Lawan Pembalakan, IPB-WRI Indonesia Kembangkan Database Genetika Ramin
Namun, tidak semua jenis kayu bisa langsung dianalisis. Kualitas DNA bergantung pada tingkat pelapukan dan pengolahan. Kayu yang sudah diawetkan atau melalui proses pengeringan tertentu bisa mengalami degradasi DNA yang signifikan. Untuk itu, tim forensik sering harus bekerja ekstra hati-hati dalam mengekstraksi DNA dari sampel yang sulit.
Selain itu, tantangan terbesar dalam pengembangan teknologi tersebut adalah minimnya laboratorium forensik hayati yang terakreditasi serta kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang terlatih.
Meski Indonesia sudah memiliki beberapa laboratorium dengan kemampuan analisis DNA tumbuhan seperti yang dimiliki IPB, nyatanya belum semua laboratorium dilengkapi sarana dan prasarana untuk menangani forensik kayu secara komprehensif.
Dalam konteks hukum Indonesia, hasil forensik DNA kayu saat ini dikategorikan sebagai alat bukti surat atau keterangan ahli.
Jaksa Asnath Anytha Idatua Hutagalung dari Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung menjelaskan, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdapat lima jenis alat bukti yang sah, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Bukti ilmiah, seperti hasil forensik DNA, bisa menjadi alat bukti yang sah di pengadilan apabila metode tersebut dilakukan oleh lembaga atau ahli yang memiliki kompetensi serta didukung oleh prosedur pengumpulan dan pelaporan yang sesuai dengan KUHAP.
Dengan kata lain, keterangan ahli menjadi penopang penting dalam menjelaskan temuan ilmiah yang kompleks.
“Keterangan ahli sangat penting, karena bahasa hasil laboratorium itu (bersifat) teknis. Hakim dan jaksa butuh penjelasan tentang apa artinya temuan DNA tersebut dalam konteks hukum,” jelas Asnath saat ditemui di Kejaksaan Agung Jakarta, Senin (2/6/2025).
Baca juga: Di Dokumen 5, Nyatanya 76: Mafia Kayu Hutan Terancam Denda Rp 2,5 Miliar
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya