DUA minggu lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk pertama kalinya merilis laporan berjudul “UN Global Risk Report”.
Biasanya, laporan tahunan bertema risiko global seperti ini dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF) melalui “Global Risk Report” yang terbit setiap tahun sejak 2010.
UN Global Risk Report didasarkan pada survei terhadap lebih dari 1.100 pakar yang diminta memberikan pandangan mereka mengenai potensi risiko di masa depan.
Selain itu, mereka juga diminta menyampaikan pendapat terkait langkah-langkah yang diperlukan untuk mengantisipasi berbagai tantangan tersebut.
Ada lima temuan utama yang dituliskan dalam laporan tersebut.
Pertama, kerentanan global muncul karena berbagai institusi belum siap menghadapi risiko-risiko penting.
Baca juga: Penyangkal Perubahan Iklim Terus Merongrong
Tantangan utamanya adalah terjadinya klasterisasi institusi (misalnya negara) berdasarkan perbedaan pandangan dalam bidang politik, teknologi, sosial, dan lingkungan.
Untuk kategori risiko di bidang teknologi, beberapa isu yang menonjol antara lain serangan siber (cybersecurity), dampak negatif dari kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan teknologi maju lainnya, serta pemusatan kekuasaan oleh segelintir pemain dalam penguasaan teknologi.
Dalam bidang sosial, risiko yang muncul meliputi kemungkinan terjadinya pandemi baru, risiko biologis (termasuk penyakit menular), serta perpindahan penduduk dalam skala besar.
Sementara itu, di bidang lingkungan, berbagai risiko yang dihadapi mencakup kelangkaan sumber daya alam, penurunan keanekaragaman hayati, risiko bencana alam, dan polusi dalam skala besar.
Selanjutnya, mis-informasi dan dis-informasi menjadi salah satu risiko utama dalam bidang politik.
Kedua, saat ini banyak risiko yang telah berkembang menjadi krisis nyata. Sebagai contoh, lebih dari 80 persen responden survei menyatakan bahwa disinformasi atau penyebaran informasi yang tidak akurat telah menjadi salah satu bentuk kerentanan global yang paling serius.
Selain itu, lebih dari 70 persen responden survei menyebutkan bahwa meningkatnya ketimpangan dan tensi geopolitik merupakan tantangan utama yang berkontribusi terhadap tingginya ketidakpastian global.
Jika dilihat dari waktu ke waktu, saat ini misinformasi dan disinformasi dianggap sebagai risiko terbesar.
Namun, dalam lima tahun ke depan, ekspektasi menunjukkan adanya pergeseran kondisi. AI dan teknologi terdepan dipandang sebagai peluang sekaligus risiko yang perlu diantisipasi.
Pada era 2030-an, risiko yang diantisipasi adalah munculnya pandemi baru. Lebih jauh lagi, pada 2040-an, risiko yang dicatat berkaitan dengan peristiwa berbasis antariksa.
Baca juga: Di Balik Tarif Trump 19 Persen: Ketika Dagang Tak Lagi Imbang
Ketiga, risiko lingkungan kini menjadi prioritas utama di berbagai kawasan. Hasil survei menunjukkan bahwa lima dari sepuluh risiko paling penting berkaitan dengan isu-isu lingkungan.
Sebagai contoh di Asia Timur dan Asia Tenggara, beberapa jenis risiko yang bercokol di tempat paling atas adalah tidak adanya aksi untuk mengatasi perubahan iklim, penurunan keanekaragama hayati, risiko bencana alam, dan kelangkaan sumber daya alam.
Keempat, kerja sama antarpemerintah dinilai sebagai cara paling efektif untuk memitigasi risiko global.
Selain itu, kolaborasi lintas negara juga dapat mengatasi hambatan seperti lemahnya tata kelola dan kurangnya komitmen sebagian negara dalam memprioritaskan isu-isu global.
Risiko tensi geopolitik merupakan jenis risiko yang saling terhubung dengan berbagai risiko lainnya.
Artinya, ketegangan geopolitik dapat memicu munculnya risiko-risiko lain, seperti terganggunya rantai pasok global (global supply chain), penggunaan senjata pemusnah massal, terjadinya perang berskala besar, hingga menurunnya peran institusi multilateral.
Kelima, terdapat beberapa skenario masa depan menggambarkan bagaimana tindakan kolektif dalam menghadapi kerentanan global dapat berujung pada kehancuran, atau justru membuka jalan bagi berbagai terobosan.
Empat skenario yang dibahas di laporan tersebut adalah skenario kehancuran (breakdown scenario), skenario status quo, skenario kemajuan (progress scenario), dan skenario terobosan (breakthrough scenario).
Pertanyaan selanjutnya, apa yang harus dilakukan di Indonesia? Risiko di masa depan harus dipersiapkan. Jika tidak, maka kita akan mendapatkan dampak negatif dari risiko-risiko tersebut.
Sebagai contoh, serangan siber terhadap data pemerintah dan sektor perbankan menunjukkan tingginya kerentanan sistem keamanan digital Indonesia.
Masih segar dalam ingatan ketika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mendapat sorotan tajam akibat kebocoran data nasional pada 2024.
Insiden ini mengguncang kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah dalam melindungi data pribadi masyarakat, serta berdampak langsung pada terganggunya sejumlah layanan publik.
Baca juga: Negara Oplosan
Contoh lainnya adalah pandemi COVID-19, yang menjadi bukti nyata kurangnya kesiapan sistem kesehatan nasional dalam menghadapi krisis global.
Tingginya angka kematian, baik pada penduduk usia produktif maupun non-produktif, memberikan pelajaran berharga bagi sistem kesehatan.
Lebih jauh, terhentinya aktivitas perekonomian selama masa pandemi menunjukkan dampak luas dari krisis kesehatan terhadap sektor lain.
Meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana alam di Indonesia juga mencerminkan dampak nyata dari perubahan iklim.
Intensitas banjir yang semakin tinggi di berbagai wilayah, disertai kekeringan di daerah lain, menunjukkan ketidakseimbangan iklim yang kian mengkhawatirkan.
Di sisi lain, persoalan kelangkaan air bersih juga semakin mengemuka dan perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak.
Terakhir, risiko akibat tensi geopolitik juga dirasakan secara langsung oleh Indonesia. Salah satu contohnya adalah kebijakan kenaikan tarif impor yang diterapkan pada periode kedua pemerintahan Presiden AS Donald Trump.
Meskipun Presiden Prabowo Subianto telah mengumumkan adanya kesepakatan baru dengan Presiden Trump, namun perlu diakui bahwa kesepakatan tersebut belum sepenuhnya mencerminkan prinsip saling menguntungkan (win-win solution).
Sebagai penutup, salah satu pesan yang bisa digarisbawahi adalah “banyak risiko yang telah berkembang menjadi krisis nyata”.
Hal ini terjadi karena kurangnya kesiapan dalam menghadapi risiko yang berpotensi muncul, padahal berbagai peringatan telah disampaikan terkait kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Terlebih lagi, peringatan ini tidak hanya berasal dari satu lembaga. Berbagai laporan dari lembaga lain yang membahas perubahan lanskap risiko global seharusnya dapat dijadikan referensi penting dalam pengambilan kebijakan.
Apa persiapan yang harus dilakukan? Salah satu pesan paling utama adalah bekerjasama atau kolaborasi.
Kata-kata ini mudah diucapkan, tapi sulit dilakukan. Lakukan identifikasi dan aksi nyata. Tidak hanya sebatas seminar dan diskusi yang terus berulang.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya