KOMPAS.com - Status kawasan hutan dinilai berkontribusi terhadap minimnya akses layanan dasar dan pembangunan di desa-desa tertinggal. Tumpang tindih status lahan tersebut merupakan permasalahan struktural administrasi yang dinilai memiskinkan masyarakat desa.
Data Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes PDT) pada tahun 2024 menunjukkan, sebanyak 2.966 desa ada di dalam kawasan hutan. Ada 1.459 dari 2.966 desa yang berada di dalam kawasan hutan atau 49,19 persen, tergolong tertinggal dan sangat tertinggal.
Baca juga:
Di sisi lain, terdapat 15.481 desa terletak di tepi atau sekitar kawasan hutan. Sebanyak 3.706 dari 15.481 desa yang terletak di tepi atau sekitar kawasan hutan atau 20 persen, tergolong tertinggal dan sangat tertinggal.
"Saya punya pengalaman empiris saat menjadi lurah dulu, hanya untuk memasukkan listrik ke dalam desa itu sulit," ujar Staf Ahli Menteri Desa Bidang Hubungan Antarlembaga, Sugito di Jakarta, Jumat (19/12/2025).
Tumpang tindih status ribuan desa akibat negara mengklaim wilayah secara sepihak sebagai kawasan hutan disebut bisa memicu berbagai konflik agraria.
Menurut Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, cara berpikir warisan era kolonial Belanda itu masih "dihidupkan" sampai saat ini.
"Kenapa reforma agraria kehutanan menjadi keniscayaan adalah memang karena kita masih mewarisi residu dari zaman kolonial Belanda, bagaimana politik penguasaan waktu itu, bagaimana tata batasnya, klaim atas nama kawasan hutan itu masih hidup sampai dengan sekarang," jelas Dewi.
Tata batas kawasan hutan yang ditetapkan pada masa lalu disebut menjadi sumber utama konflik agraria.
Imbasnya, masyarakat dari desa-desa yang masuk ke dalam dan sekitar kawasan hutan mengalami diskriminasi dan kriminalisasi.
Baca juga:
Tumpang tindih status desa dan kawasan hutan disebut perparah kemiskinan. Reforma agraria dinilai harus memulihkan hak warga dan layanan dasar.Selain itu, permasalahan teknokrasi dan ego sektoral antar kementerian/lembaga memperparah situasi.
Apalagi, kata Dewi, berbagai pemangku kepentingan terkait, seperti kementerian/lembaga, DPR, dan masyarakat, masih memaknai reforma agraria hanya "bagi-bagi" lahan.
Padahal esensi dari reforma agraria lebih ke arah pemulihan hak-hak masyarakat yang telah terampas.
Hal itu termasuk kewajiban negara membangun infrastruktur jalan, pendidikan, dan kesehatan untuk masyarakat dari desa-desa tersebut.
"(masyarakatnya juga) tidak lagi dikriminalkan atau mengalami diskriminasi. (Namun) Ini juga dilakukan Kementerian Kehutanan, masih ada ribuan desa yang diklaim sebagai kawasan hutan, yang itu berdampak pada masalah-masalah sosial, budaya yang terus-menerus itu dipelihara sampai dengan sekarang," terang Dewi.
Baca juga:
Sebelumnya, Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA, Benny Wijaya mengatakan, sebanyak 3.406 desa berkonflik dengan negara yang mengklaim secara sepihak sebagai kawasan hutan.
Desa-desa berkonflik tersebut mayoritas merupakan sentra-sentra pertanian dan produksi pangan.
Ia mengganggap, klaim sepihak negara yang mengubah status desa-desa dengan lahan-lahan pertanian produktif menjadi kawasan hutan bertentangan dengan jargon swasembada pangan.
"Kalau dari perspektif KPA, tentu kalau pemerintah mau menuntaskan swasembada pangan atau bahkan kedaulatan pangan, tentunya persoalan struktural agraria semacam ini perlu dituntaskan," ujar Benny saat diskusi Polemik Harga Beras dan Kebijakan Pangan di Tengah Krisis Iklim di Jakarta, Selasa (16/9/2025).
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya