Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Status Kawasan Hutan Bikin Ribuan Desa Tertinggal, Bisa Picu Konflik Agraria

Kompas.com, 20 Desember 2025, 18:35 WIB
Manda Firmansyah,
Ni Nyoman Wira Widyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Status kawasan hutan dinilai berkontribusi terhadap minimnya akses layanan dasar dan pembangunan di desa-desa tertinggal. Tumpang tindih status lahan tersebut merupakan permasalahan struktural administrasi yang dinilai memiskinkan masyarakat desa.

Data Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes PDT) pada tahun 2024 menunjukkan, sebanyak 2.966 desa ada di dalam kawasan hutan. Ada 1.459 dari 2.966 desa yang berada di dalam kawasan hutan atau 49,19 persen, tergolong tertinggal dan sangat tertinggal.

Baca juga: 

Di sisi lain, terdapat 15.481 desa terletak di tepi atau sekitar kawasan hutan. Sebanyak 3.706 dari 15.481 desa yang terletak di tepi atau sekitar kawasan hutan atau 20 persen, tergolong tertinggal dan sangat tertinggal.

"Saya punya pengalaman empiris saat menjadi lurah dulu, hanya untuk memasukkan listrik ke dalam desa itu sulit," ujar Staf Ahli Menteri Desa Bidang Hubungan Antarlembaga, Sugito di Jakarta, Jumat (19/12/2025).

Tumpang tindih status desa bisa picu konflik agraria

Tata batas hutan yang ditetapkan pada masa lalu jadi sumber konflik agraria

Tumpang tindih status ribuan desa akibat negara mengklaim wilayah secara sepihak sebagai kawasan hutan disebut bisa memicu berbagai konflik agraria.

Menurut Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, cara berpikir warisan era kolonial Belanda itu masih "dihidupkan" sampai saat ini.

"Kenapa reforma agraria kehutanan menjadi keniscayaan adalah memang karena kita masih mewarisi residu dari zaman kolonial Belanda, bagaimana politik penguasaan waktu itu, bagaimana tata batasnya, klaim atas nama kawasan hutan itu masih hidup sampai dengan sekarang," jelas Dewi.

Tata batas kawasan hutan yang ditetapkan pada masa lalu disebut menjadi sumber utama konflik agraria.

Imbasnya, masyarakat dari desa-desa yang masuk ke dalam dan sekitar kawasan hutan mengalami diskriminasi dan kriminalisasi.

Baca juga:

Reforma agraria disebut lebih dari "bagi-bagi" lahan

Tumpang tindih status desa dan kawasan hutan disebut perparah kemiskinan. Reforma agraria dinilai harus memulihkan hak warga dan layanan dasar.Freepik/wirestock Tumpang tindih status desa dan kawasan hutan disebut perparah kemiskinan. Reforma agraria dinilai harus memulihkan hak warga dan layanan dasar.

Selain itu, permasalahan teknokrasi dan ego sektoral antar kementerian/lembaga memperparah situasi.

Apalagi, kata Dewi, berbagai pemangku kepentingan terkait, seperti kementerian/lembaga, DPR, dan masyarakat, masih memaknai reforma agraria hanya "bagi-bagi" lahan.

Padahal esensi dari reforma agraria lebih ke arah pemulihan hak-hak masyarakat yang telah terampas. 

Hal itu termasuk kewajiban negara membangun infrastruktur jalan, pendidikan, dan kesehatan untuk masyarakat dari desa-desa tersebut.

"(masyarakatnya juga) tidak lagi dikriminalkan atau mengalami diskriminasi. (Namun) Ini juga dilakukan Kementerian Kehutanan, masih ada ribuan desa yang diklaim sebagai kawasan hutan, yang itu berdampak pada masalah-masalah sosial, budaya yang terus-menerus itu dipelihara sampai dengan sekarang," terang Dewi.

Baca juga: 

Sebelumnya, Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA, Benny Wijaya mengatakan, sebanyak 3.406 desa berkonflik dengan negara yang mengklaim secara sepihak sebagai kawasan hutan.

Desa-desa berkonflik tersebut mayoritas merupakan sentra-sentra pertanian dan produksi pangan.

Ia mengganggap, klaim sepihak negara yang mengubah status desa-desa dengan lahan-lahan pertanian produktif menjadi kawasan hutan bertentangan dengan jargon swasembada pangan.

"Kalau dari perspektif KPA, tentu kalau pemerintah mau menuntaskan swasembada pangan atau bahkan kedaulatan pangan, tentunya persoalan struktural agraria semacam ini perlu dituntaskan," ujar Benny saat diskusi Polemik Harga Beras dan Kebijakan Pangan di Tengah Krisis Iklim di Jakarta, Selasa (16/9/2025).

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Dampak CO2 pada Pangan, Nutrisi Hilang dan Kalori Bertambah
Dampak CO2 pada Pangan, Nutrisi Hilang dan Kalori Bertambah
Swasta
Indonesia Disebut Terbelakang dalam Kebencanaan akibat Anggaran Terlalu Kecil
Indonesia Disebut Terbelakang dalam Kebencanaan akibat Anggaran Terlalu Kecil
LSM/Figur
Status Kawasan Hutan Bikin Ribuan Desa Tertinggal, Bisa Picu Konflik Agraria
Status Kawasan Hutan Bikin Ribuan Desa Tertinggal, Bisa Picu Konflik Agraria
Pemerintah
Pakar Tanyakan Alasan Indonesia Tolak Bantuan Asing untuk Korban Banjir Sumatera
Pakar Tanyakan Alasan Indonesia Tolak Bantuan Asing untuk Korban Banjir Sumatera
LSM/Figur
Peristiwa Langka, Beruang Kutub Betina Terekam Adopsi Anak Beruang Kutub Lain di Kanada
Peristiwa Langka, Beruang Kutub Betina Terekam Adopsi Anak Beruang Kutub Lain di Kanada
LSM/Figur
Menteri ATR Nusron Tahan 1,67 Juta Hektar HGU, Tawarkan 2 Skema Reforma Agraria
Menteri ATR Nusron Tahan 1,67 Juta Hektar HGU, Tawarkan 2 Skema Reforma Agraria
Pemerintah
PSN Papua, Menteri ATR Nusron Wahid Singgung Swasembada Pangan Butuh Perluasan Lahan
PSN Papua, Menteri ATR Nusron Wahid Singgung Swasembada Pangan Butuh Perluasan Lahan
Pemerintah
Hadapi Gelombang Panas Ekstrem, Spanyol Bangun Jaringan Penampungan
Hadapi Gelombang Panas Ekstrem, Spanyol Bangun Jaringan Penampungan
Pemerintah
Studi Sebut PLTB Lepas Pantai Tingkatkan Fungsi Ekologis Perairan Pesisir
Studi Sebut PLTB Lepas Pantai Tingkatkan Fungsi Ekologis Perairan Pesisir
Pemerintah
Peringatan Met Office: 2026 Diprediksi Jadi Tahun Terpanas
Peringatan Met Office: 2026 Diprediksi Jadi Tahun Terpanas
Pemerintah
3 Skenario ATR/BPN Selesaikan Lahan Masyarakat Diklaim Kawasan Hutan
3 Skenario ATR/BPN Selesaikan Lahan Masyarakat Diklaim Kawasan Hutan
Pemerintah
Jakarta Punya Pusat Daur Ulang Sampah, Kapasitasnya hingga 10 Ton
Jakarta Punya Pusat Daur Ulang Sampah, Kapasitasnya hingga 10 Ton
Pemerintah
Perubahan Iklim Ancam Kesehatan Reproduksi di Asia
Perubahan Iklim Ancam Kesehatan Reproduksi di Asia
Pemerintah
IESR: Penghentian Insentif Kendaraan Listrik Bisa Hilangkan Manfaat Ekonomi hingga Rp 544 Triliun
IESR: Penghentian Insentif Kendaraan Listrik Bisa Hilangkan Manfaat Ekonomi hingga Rp 544 Triliun
LSM/Figur
BMKG Prediksi Hujan Lebat dan Angin Kencang di Indonesia Seminggu ke Depan
BMKG Prediksi Hujan Lebat dan Angin Kencang di Indonesia Seminggu ke Depan
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau