JAKARTA, KOMPAS.com – Pakar kebencanaan Jonatan A. Lassa pesimistis terhadap pemulihan wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pasca-banjir bandang.
Ia menilai, hingga kini Indonesia belum pernah benar-benar membuktikan konsep build back better atau membangun kembali dengan lebih baik setelah bencana.
Berdasarkan hasil riset yang ia lakukan, kegagalan tersebut bukan semata karena keterbatasan kapasitas, melainkan karena desain kelembagaan pemulihan pascabencana di Indonesia yang tidak tepat.
Baca juga: Bencana Hidrometeorologi Meningkat, Sistem Transportasi dan Logistik Dinilai Perlu Berubah
“Bukan karena enggak mumpuni, tetapi desain kelembagaannya untuk recovery tidak pas. Lembaga ad hoc dibentuk, lalu dibubarkan dengan harapan masyarakat langsung masuk ke fase pembangunan. Itu versi ideal. Kenyataannya, masyarakat butuh waktu jauh lebih lama untuk kembali ke kondisi ekonomi pra-bencana,” ujar Jonatan dalam sebuah webinar, Selasa (24/12/2025).
Ia mencontohkan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias yang dibentuk pascatsunami 2004. Meski dinilai bekerja secara profesional, BRR hanya beroperasi selama sekitar tiga tahun sebelum dibubarkan.
Menurut Jonatan, negara-negara seperti Jepang, Australia, dan Amerika Serikat telah menyadari pentingnya membangun kelembagaan khusus yang berkelanjutan untuk pemulihan pascabencana.
Sementara di Indonesia, model lembaga sementara dinilai tidak mampu mengembalikan kesejahteraan korban ke kondisi semula, apalagi meningkatkan kualitas hidup mereka.
“Orang yang sebelumnya hidupnya sedang naik, lalu terkena bencana, minimal butuh 20 tahun untuk bisa kembali ke tren sebelumnya. Itu tidak terjadi di Indonesia,” katanya.
Masalah lain yang disoroti Jonatan adalah tanggung jawab pemulihan pascabencana yang masih tersebar di berbagai kementerian dan lembaga, seperti Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN/Bappenas, sehingga koordinasi kerap tidak optimal.
Ia juga mengkritik lemahnya komunikasi krisis pascabencana di Aceh. Hingga kini, laporan dampak banjir bandang 2025 dinilai belum disusun secara sistematis menggunakan pendekatan 5W+1H, lengkap dengan data dan angka pendukung.
“Laporan situasi itu hak dasar dalam kebencanaan. Tanpa data yang jelas soal skala dampak, bagaimana komunitas internasional bisa percaya dan merespons ketika kita ingin mengadvokasi bantuan?” ujarnya.
Jonatan menilai laporan dari kantor gubernur Aceh masih bersifat kualitatif dan emosional, meski Pemerintah Provinsi Aceh telah berinvestasi cukup besar dalam peningkatan kapasitas penanganan bencana.
Ia juga mengingatkan bahwa Aceh pernah mengalami banjir bandang besar pada 2006, dua tahun setelah tsunami 2004, dengan wilayah terdampak yang hampir serupa, seperti pantai timur Aceh dan Aceh Utara. Saat itu, ratusan ribu warga mengungsi akibat curah hujan ekstrem.
Baca juga: Walhi Sebut Banjir Sumatera Bencana yang Direncanakan, Soroti Izin Tambang dan Sawit
“Saya tinggal di Aceh pada 2005–2007 dan terlibat langsung dalam proses recovery. Bencana 2006 itu skalanya besar, bahkan nomor dua di Sumatera setelah tsunami. Tapi tidak terasa karena saat itu operasi pemulihan melibatkan ribuan LSM dan proyek,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Jonatan juga menyoroti keterbatasan sistem peringatan dini di Indonesia. Menurut dia, sistem peringatan dini yang dimiliki Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) masih bersifat forecast-based atau berbasis perkiraan, sehingga belum efektif mencegah dampak bencana seperti siklon.
Ia mendorong penerapan impact-based early warning system, yakni sistem peringatan dini berbasis dampak, yang tidak hanya memberi tahu kapan bencana berpotensi terjadi, tetapi juga siapa yang terdampak, di mana lokasi terdampak, dan apa implikasinya bagi pengambilan keputusan.
“Banyak lembaga internasional seperti World Meteorological Organization dan juga Badan Nasional Penanggulangan Bencana sudah lama mendorong ini. Early warning itu bukan sekadar soal waktu, tapi soal dampak,” ujar Jonatan dalam webinar, Selasa (23/12/2025).
Baca juga: Belajar dari Sulawesi Tengah, Membaca Peran Perempuan Ketika Bencana Menguji
Ia menambahkan, sistem peringatan dini berbasis dampak memang memiliki konsekuensi politik besar. Sebagai contoh, Presiden Amerika Serikat saat itu, Barack Obama, mendeklarasikan darurat nasional pada 2012 berdasarkan potensi badai besar Hurricane Sandy, bahkan sebelum bencana tersebut terjadi.
“Kalau badai tidak datang, kita bersyukur. Tapi kalau datang, keputusan sudah siap, evakuasi sudah berjalan, helikopter sudah siaga. Bukan menunggu 10 hari setelah kejadian,” kata Jonatan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya