Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar Soroti Lemahnya Sistem Pemulihan Pascabencana di Indonesia

Kompas.com, 24 Desember 2025, 18:46 WIB
Manda Firmansyah,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Pakar kebencanaan Jonatan A. Lassa pesimistis terhadap pemulihan wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pasca-banjir bandang.

Ia menilai, hingga kini Indonesia belum pernah benar-benar membuktikan konsep build back better atau membangun kembali dengan lebih baik setelah bencana.

Berdasarkan hasil riset yang ia lakukan, kegagalan tersebut bukan semata karena keterbatasan kapasitas, melainkan karena desain kelembagaan pemulihan pascabencana di Indonesia yang tidak tepat.

Baca juga: Bencana Hidrometeorologi Meningkat, Sistem Transportasi dan Logistik Dinilai Perlu Berubah

“Bukan karena enggak mumpuni, tetapi desain kelembagaannya untuk recovery tidak pas. Lembaga ad hoc dibentuk, lalu dibubarkan dengan harapan masyarakat langsung masuk ke fase pembangunan. Itu versi ideal. Kenyataannya, masyarakat butuh waktu jauh lebih lama untuk kembali ke kondisi ekonomi pra-bencana,” ujar Jonatan dalam sebuah webinar, Selasa (24/12/2025).

Ia mencontohkan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias yang dibentuk pascatsunami 2004. Meski dinilai bekerja secara profesional, BRR hanya beroperasi selama sekitar tiga tahun sebelum dibubarkan.

Menurut Jonatan, negara-negara seperti Jepang, Australia, dan Amerika Serikat telah menyadari pentingnya membangun kelembagaan khusus yang berkelanjutan untuk pemulihan pascabencana.

Sementara di Indonesia, model lembaga sementara dinilai tidak mampu mengembalikan kesejahteraan korban ke kondisi semula, apalagi meningkatkan kualitas hidup mereka.

“Orang yang sebelumnya hidupnya sedang naik, lalu terkena bencana, minimal butuh 20 tahun untuk bisa kembali ke tren sebelumnya. Itu tidak terjadi di Indonesia,” katanya.

Masalah lain yang disoroti Jonatan adalah tanggung jawab pemulihan pascabencana yang masih tersebar di berbagai kementerian dan lembaga, seperti Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN/Bappenas, sehingga koordinasi kerap tidak optimal.

Ia juga mengkritik lemahnya komunikasi krisis pascabencana di Aceh. Hingga kini, laporan dampak banjir bandang 2025 dinilai belum disusun secara sistematis menggunakan pendekatan 5W+1H, lengkap dengan data dan angka pendukung.

“Laporan situasi itu hak dasar dalam kebencanaan. Tanpa data yang jelas soal skala dampak, bagaimana komunitas internasional bisa percaya dan merespons ketika kita ingin mengadvokasi bantuan?” ujarnya.

Jonatan menilai laporan dari kantor gubernur Aceh masih bersifat kualitatif dan emosional, meski Pemerintah Provinsi Aceh telah berinvestasi cukup besar dalam peningkatan kapasitas penanganan bencana.

Ia juga mengingatkan bahwa Aceh pernah mengalami banjir bandang besar pada 2006, dua tahun setelah tsunami 2004, dengan wilayah terdampak yang hampir serupa, seperti pantai timur Aceh dan Aceh Utara. Saat itu, ratusan ribu warga mengungsi akibat curah hujan ekstrem.

Baca juga: Walhi Sebut Banjir Sumatera Bencana yang Direncanakan, Soroti Izin Tambang dan Sawit

“Saya tinggal di Aceh pada 2005–2007 dan terlibat langsung dalam proses recovery. Bencana 2006 itu skalanya besar, bahkan nomor dua di Sumatera setelah tsunami. Tapi tidak terasa karena saat itu operasi pemulihan melibatkan ribuan LSM dan proyek,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Jonatan juga menyoroti keterbatasan sistem peringatan dini di Indonesia. Menurut dia, sistem peringatan dini yang dimiliki Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) masih bersifat forecast-based atau berbasis perkiraan, sehingga belum efektif mencegah dampak bencana seperti siklon.

Ia mendorong penerapan impact-based early warning system, yakni sistem peringatan dini berbasis dampak, yang tidak hanya memberi tahu kapan bencana berpotensi terjadi, tetapi juga siapa yang terdampak, di mana lokasi terdampak, dan apa implikasinya bagi pengambilan keputusan.

“Banyak lembaga internasional seperti World Meteorological Organization dan juga Badan Nasional Penanggulangan Bencana sudah lama mendorong ini. Early warning itu bukan sekadar soal waktu, tapi soal dampak,” ujar Jonatan dalam webinar, Selasa (23/12/2025).

Baca juga: Belajar dari Sulawesi Tengah, Membaca Peran Perempuan Ketika Bencana Menguji

Ia menambahkan, sistem peringatan dini berbasis dampak memang memiliki konsekuensi politik besar. Sebagai contoh, Presiden Amerika Serikat saat itu, Barack Obama, mendeklarasikan darurat nasional pada 2012 berdasarkan potensi badai besar Hurricane Sandy, bahkan sebelum bencana tersebut terjadi.

“Kalau badai tidak datang, kita bersyukur. Tapi kalau datang, keputusan sudah siap, evakuasi sudah berjalan, helikopter sudah siaga. Bukan menunggu 10 hari setelah kejadian,” kata Jonatan.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Uni Eropa Bakal Perketat Impor Plastik demi Industri Daur Ulang Lokal
Uni Eropa Bakal Perketat Impor Plastik demi Industri Daur Ulang Lokal
Pemerintah
Pakar Soroti Lemahnya Sistem Pemulihan Pascabencana di Indonesia
Pakar Soroti Lemahnya Sistem Pemulihan Pascabencana di Indonesia
LSM/Figur
Banjir Aceh Disebut Jadi Dampak Deforestasi, Tutupan Hutan Sudah Kritis Sejak 15 Tahun Lalu
Banjir Aceh Disebut Jadi Dampak Deforestasi, Tutupan Hutan Sudah Kritis Sejak 15 Tahun Lalu
LSM/Figur
Pengamat: Pengelolaan Air Jadi Kunci Praktik Pertambangan Berkelanjutan
Pengamat: Pengelolaan Air Jadi Kunci Praktik Pertambangan Berkelanjutan
Swasta
Vitamin C Bantu Lindungi Paru-paru dari Dampak Polusi Udara
Vitamin C Bantu Lindungi Paru-paru dari Dampak Polusi Udara
LSM/Figur
Panas Ekstrem dan Kelembapan Bisa Berdampak pada Janin
Panas Ekstrem dan Kelembapan Bisa Berdampak pada Janin
LSM/Figur
Waspada Hujan Lebat Selama Natal 2025 dan Tahun Baru 2026
Waspada Hujan Lebat Selama Natal 2025 dan Tahun Baru 2026
Pemerintah
Pakar Kritik Sistem Peringatan Dini di Indonesia, Sarankan yang Berbasis Dampak
Pakar Kritik Sistem Peringatan Dini di Indonesia, Sarankan yang Berbasis Dampak
LSM/Figur
Hutan Lindung Sungai Wain di Balikpapan Dirambah untuk Kebun Sawit
Hutan Lindung Sungai Wain di Balikpapan Dirambah untuk Kebun Sawit
Pemerintah
Menteri LH Sebut 4,9 Juta Hektar Lahan di Aceh Rusak akibat Banjir
Menteri LH Sebut 4,9 Juta Hektar Lahan di Aceh Rusak akibat Banjir
Pemerintah
Sebulan Pasca-banjir Aceh, Distribusi Logistik Dinilai Belum Merata Ditambah Inflasi
Sebulan Pasca-banjir Aceh, Distribusi Logistik Dinilai Belum Merata Ditambah Inflasi
LSM/Figur
1.050 Petugas Kebersihan Disiagakan Saat Ibadah Natal 2025 di Jakarta
1.050 Petugas Kebersihan Disiagakan Saat Ibadah Natal 2025 di Jakarta
Pemerintah
2 Nelayan Perempuan Asal Maluku dan Papua Gerakkan Ekonomi Keluarga Pesisir
2 Nelayan Perempuan Asal Maluku dan Papua Gerakkan Ekonomi Keluarga Pesisir
Pemerintah
Saat Anak Muda Diajak Kembali ke Sawah lewat Pendekatan Inovatif
Saat Anak Muda Diajak Kembali ke Sawah lewat Pendekatan Inovatif
Pemerintah
4 Orangutan Korban Perdagangan Ilegal Dipulangkan ke Indonesia dari Thailand
4 Orangutan Korban Perdagangan Ilegal Dipulangkan ke Indonesia dari Thailand
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Rp
Minimal apresiasi Rp 5.000
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau