KOMPAS.com – Praktik pertambangan yang baik atau good mining practice (GMP) sudah menjadi keniscayaan di sektor ekstraksi. Bukan lagi sekadar daftar cek, GMP adalah disiplin teknis yang mengikat perusahaan sejak perencanaan hingga pascatambang.
Salah satu payung hukum yang menaunginya adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26 Tahun 2018 yang menegaskan pelaksanaan kaidah pertambangan yang baik dan pengawasan rutin oleh Inspektur Tambang.
Standar teknis GMP dirinci dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1827K/30/MEM/2018. Dokumen pedoman ini mengatur struktur keselamatan, tata kelola operasional, hingga aspek lingkungan, termasuk kewajiban mengelola air, sedimen, dan potensi air asam tambang secara preventif dan terukur.
Pada level perizinan, kewajiban GMP terhubung dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang kemudian diperbarui oleh PP Nomor 25 Tahun 2024.
Baca juga: Harita Nickel Penuhi Standar Kualitas Air Tanah di Kawasan Industri
Pada aspek rehabilitasi lahan, PP Nomor 78 Tahun 2010 mewajibkan reklamasi dan pascatambang disiapkan sejak awal operasi, lengkap dengan jaminan keuangan. Di dalamnya, pengelolaan air menjadi bagian integral, mulai dari pengendalian limpasan hingga stabilisasi timbunan.
Air limpasan akan diolah terlebih dahulu di kolam pengendapan untuk memenuhi baku mutu sebelum dilepaskan ke lingkungan.
Salah satu jantung GMP adalah tata kelola air (water management). Pedoman resmi GMP menempatkan pengelolaan air sebagai inti praktik, mulai dari pemisahan aliran air kontak dan non-kontak, desain drainase dan kolam pengendapan (sediment pond), serta pengelolaan dan pemantauan kualitas sebelum air dilepas ke badan air sesuai dengan Persetujuan Lingkungan dan Sertifikat Layak Operasi (SLO)
Pakar hidrologi dan dosen Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr Muhammad Sonny Abfertiawan mengatakan, secara prinsip, pendekatan water management di area tambang harus bersifat preventif dan adaptif.
Kolam sedimentasi yang dikelola Harita Nickel di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara.“Preventif berarti memisahkan aliran sejak awal melalui penyaliran terpisah. Sementara, adaptif artinya mengendalikan dan mengolah air tambang sebelum dialirkan ke badan air penerima,” jelasnya seperti dikutip dari artikel kolom di Kompas.com, Kamis (13/11/2025).
Kedua pendekatan tersebut, imbuhnya, menuntut konsistensi teknis dan komitmen jangka panjang dari perusahaan tambang sejak tahap pra-penambangan atau sebelum operasi penambangan dimulai.
Tidak hanya itu, diperlukan pula sistem pemantauan kualitas air yang berkelanjutan serta evaluasi rutin (continuous improvement) berbasis data ilmiah.
Hal tersebut penting karena tambang di Indonesia umumnya menggunakan metode tambang terbuka (open cast mining) yang dipengaruhi kondisi iklim tropis.
Operasi tambang nikel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, itu dikelola oleh PT Trimegah Bangun Persada Tbk (Harita Nickel).
Untuk memastikan pengelolaan air yang dilakukan berjalan baik, Harita Nickel mengelola seluruh area tangkapan air (catchment) dengan membangun check dam dan sediment pond.
Titik keluaran (outlet) fasilitas tersebut telah ditetapkan sebagai titik penaatan dan dilengkapi sistem SPARING yang terhubung real-time ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) serta dipantau kualitas airnya secara rutin.
Baca juga: Harita Raih Penghargaan Kementerian ESDM Bidang Pendidikan dan Kesehatan
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya