Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemenhut Bakal Bentuk PP Turunan UU Konservasi SDA, Masyarakat Adat Dipastikan Terlibat

Kompas.com - 23/07/2025, 13:41 WIB
Zintan Prihatini,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Kehutanan (Kemenhut) bakal membentuk Peraturan Pemerintah (PP) turunan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya atau UU KSDHAE.

Hal ini dilakukan, menyusul keputusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang menolak uji formil UU KSDAHE yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara), dan Mikael Ane, anggota Masyarakat Adat Ngkiong Manggarai, NTT. 

Dirjen KSDAE Kemenhut, Satyawan Pudyatmoko, menyampaikan penyusunan PP baru tersebut mewajibkan adanya komunikasi dengan ahli dan publik termasuk masyarakat adat.

"Itu memang harus dilakukan agar nanti tidak ada cacat di PP yang kami sudah susun dan dapat disahkan. Memang ada beberapa tahapan-tahapan yang harus kami lakukan, salah satu yang paling penting adalah konsultasi publik," ujar Satyawan dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (23/7/2025).

Baca juga: Penolakan Permohonan Uji Formil UU KSDAHE Legal but Not Legitimate

Pihaknya memastikan, pemohon uji formil juga bisa terlibat dalam pembuatan PP turunan. Merujuk pada UU KSDAHE, akan ada 15 PP baru yang disusun mencakup sektor pendanaan, konservasi, perlindungan sistem wilayah kehidupan, pemanfaatan jasa lingkungan, serta masyarakat hukum adat.

"Jadi itu jelas-jelas amanat dari Undang-Undang untuk diakui, diatur dan diperintahkan untuk keterlibatan masyarakat hukum adat," tutur dia.

Pada kesempatan itu, Satyawan turut menyatakan bahwa Revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang KSDAHE bertujuan memperkuat peraturan guna menghadapi permasalahan konservasi.

Dalam putusannya, hakim MK menyatakan pembentukan UU juga melibatkan pemangku kepentingan, pemerhati lingkungan, dan perwakilan masyarakat adat dalam rapat dengan pendapat umum (RDPU) bersama DPR. Kendati demikian, Satyawan mengakui tidak semua pendapat publik diakomodasi oleh DPR.

Baca juga: Tanpa UU Kehutanan Baru, Hutan dan Masa Depan Iklim Terancam

"Dalam diskusi itu tentu saja kami menampung banyak aspirasi, pendapat, perbaikan yang digunakan sebagai bahan untuk menyusun Undang-Undang yang mengatur konservasi, keanekaragaman hayati, dan ekosistemnya. Jadi, pelibatan masyarakat, stakeholder, pemerhati dianggap sudah mewakili," ucap Satyawan.

Kemudian, partisipasi publik yang tidak serta-merta harus diadopsi seluruhnya oleh pembentuk Undang-Undang. Mahkamah menegaskan bahwa Presiden selaku pembentuk UU memiliki kewenangan untuk menyusun DIM dengan mempertimbangkan berbagai aspek materi muatan UU.

Sehingga, UU Nomor 32 tahun 2024 dinyatakan telah memenuhi asas kejelasan tujuan dan disusun secara proporsional.

"Sekarang menjadi pekerjaan besar bagi Kementerian Kehutanan untuk menyusun peraturan-peraturan pemerintah yang terkait dengan isi dari Undang-Undang 32 Tahun 2024 sebagai aturan pelaksanaannya," imbuh dia.

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
85 Persen Publik Ingin Perusahaan Desak Pemerintah Ambil Tindakan Iklim
85 Persen Publik Ingin Perusahaan Desak Pemerintah Ambil Tindakan Iklim
Pemerintah
Negara Maju Lebih Banyak Buang Makanan, Tapi Ada Peningkatan di Negara Berkembang
Negara Maju Lebih Banyak Buang Makanan, Tapi Ada Peningkatan di Negara Berkembang
LSM/Figur
Orang Tua Ingin Atasi Perubahan Iklim, Tapi Sulit Terapkan Gaya Hidup Minim Karbon
Orang Tua Ingin Atasi Perubahan Iklim, Tapi Sulit Terapkan Gaya Hidup Minim Karbon
LSM/Figur
Baru 21 Provinsi Laporkan Inventarisasi GRK, Target Nasional Terancam
Baru 21 Provinsi Laporkan Inventarisasi GRK, Target Nasional Terancam
Pemerintah
'Data Driven', dari Kebutuhan Administratif ke Strategi Bisnis Keberlanjutan
"Data Driven", dari Kebutuhan Administratif ke Strategi Bisnis Keberlanjutan
Swasta
Mengintip Teknologi Liquid Base Reactor di Pabrik Cat Karanganyar
Mengintip Teknologi Liquid Base Reactor di Pabrik Cat Karanganyar
Swasta
Plastik Marak dalam Pertanian, Serasah Tersisih Meski Lebih Ramah Lingkungan
Plastik Marak dalam Pertanian, Serasah Tersisih Meski Lebih Ramah Lingkungan
LSM/Figur
Regulasi Karbon Indonesia yang Tak Jelas Batasi Masyarakat Dapat Dana dari Jaga Hutan
Regulasi Karbon Indonesia yang Tak Jelas Batasi Masyarakat Dapat Dana dari Jaga Hutan
LSM/Figur
Terusan Panama Hadapi Krisis Air, Perdagangan Dunia Terancam Melambat
Terusan Panama Hadapi Krisis Air, Perdagangan Dunia Terancam Melambat
LSM/Figur
Yayasan Mochamad Thohir dan William & Lily Foundation Buka Beasiswa ke AS untuk Profesional RI
Yayasan Mochamad Thohir dan William & Lily Foundation Buka Beasiswa ke AS untuk Profesional RI
LSM/Figur
Target Iklim Baru China: Pangkas Emisi 10 Persen dan Tingkatkan Pasar Bahan Bakar Non-Fosil
Target Iklim Baru China: Pangkas Emisi 10 Persen dan Tingkatkan Pasar Bahan Bakar Non-Fosil
Pemerintah
Jadwal Olimpiade Terancam Dirombak akibat Perubahan Iklim
Jadwal Olimpiade Terancam Dirombak akibat Perubahan Iklim
Pemerintah
Perubahan Iklim Picu Pohon di Hutan Hujan Amazon Tumbuh Lebih Besar
Perubahan Iklim Picu Pohon di Hutan Hujan Amazon Tumbuh Lebih Besar
Pemerintah
Cegah Muntaber, Kabupaten Sekadau Deklarasi Bebas BAB Sembarangan
Cegah Muntaber, Kabupaten Sekadau Deklarasi Bebas BAB Sembarangan
Pemerintah
'Langkah Membumi 2025', Blibli Ajak Masyarakat Lirik Gaya Hidup Ramah Lingkungan
"Langkah Membumi 2025", Blibli Ajak Masyarakat Lirik Gaya Hidup Ramah Lingkungan
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau