JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Kehutanan (Kemenhut) bakal membentuk Peraturan Pemerintah (PP) turunan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya atau UU KSDHAE.
Hal ini dilakukan, menyusul keputusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang menolak uji formil UU KSDAHE yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara), dan Mikael Ane, anggota Masyarakat Adat Ngkiong Manggarai, NTT.
Dirjen KSDAE Kemenhut, Satyawan Pudyatmoko, menyampaikan penyusunan PP baru tersebut mewajibkan adanya komunikasi dengan ahli dan publik termasuk masyarakat adat.
"Itu memang harus dilakukan agar nanti tidak ada cacat di PP yang kami sudah susun dan dapat disahkan. Memang ada beberapa tahapan-tahapan yang harus kami lakukan, salah satu yang paling penting adalah konsultasi publik," ujar Satyawan dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (23/7/2025).
Baca juga: Penolakan Permohonan Uji Formil UU KSDAHE Legal but Not Legitimate
Pihaknya memastikan, pemohon uji formil juga bisa terlibat dalam pembuatan PP turunan. Merujuk pada UU KSDAHE, akan ada 15 PP baru yang disusun mencakup sektor pendanaan, konservasi, perlindungan sistem wilayah kehidupan, pemanfaatan jasa lingkungan, serta masyarakat hukum adat.
"Jadi itu jelas-jelas amanat dari Undang-Undang untuk diakui, diatur dan diperintahkan untuk keterlibatan masyarakat hukum adat," tutur dia.
Pada kesempatan itu, Satyawan turut menyatakan bahwa Revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang KSDAHE bertujuan memperkuat peraturan guna menghadapi permasalahan konservasi.
Dalam putusannya, hakim MK menyatakan pembentukan UU juga melibatkan pemangku kepentingan, pemerhati lingkungan, dan perwakilan masyarakat adat dalam rapat dengan pendapat umum (RDPU) bersama DPR. Kendati demikian, Satyawan mengakui tidak semua pendapat publik diakomodasi oleh DPR.
Baca juga: Tanpa UU Kehutanan Baru, Hutan dan Masa Depan Iklim Terancam
"Dalam diskusi itu tentu saja kami menampung banyak aspirasi, pendapat, perbaikan yang digunakan sebagai bahan untuk menyusun Undang-Undang yang mengatur konservasi, keanekaragaman hayati, dan ekosistemnya. Jadi, pelibatan masyarakat, stakeholder, pemerhati dianggap sudah mewakili," ucap Satyawan.
Kemudian, partisipasi publik yang tidak serta-merta harus diadopsi seluruhnya oleh pembentuk Undang-Undang. Mahkamah menegaskan bahwa Presiden selaku pembentuk UU memiliki kewenangan untuk menyusun DIM dengan mempertimbangkan berbagai aspek materi muatan UU.
Sehingga, UU Nomor 32 tahun 2024 dinyatakan telah memenuhi asas kejelasan tujuan dan disusun secara proporsional.
"Sekarang menjadi pekerjaan besar bagi Kementerian Kehutanan untuk menyusun peraturan-peraturan pemerintah yang terkait dengan isi dari Undang-Undang 32 Tahun 2024 sebagai aturan pelaksanaannya," imbuh dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya