KOMPAS.com - Mahkamah Internasional (ICJ) telah memutuskan bahwa negara-negara wajib mengatasi penggunaan bahan bakar fosil. Jika tidak, dan terbukti menyebabkan kerusakan iklim, mereka berisiko diwajibkan membayar kompensasi.
Meski secara teknis tidak mengikat secara hukum, tetapi putusan tersebut dianggap memiliki kekuatan karena merangkum hukum yang sudah ada dan bukan menciptakan hukum baru.
Presiden ICJ, Yuji Iwasawa, dalam presentasinya di Den Haag, menekankan bahwa kerusakan iklim membawa dampak serius dan luas bagi alam serta manusia, bahkan mengancam keberadaan kita.
Sehingga putusan Mahkamah Internasional secara tegas menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas semua aktivitas yang merugikan iklim, dengan fokus utama pada penggunaan bahan bakar fosil.
Putusan ini menyatakan bahwa jika suatu negara gagal melindungi iklim dari emisi gas rumah kaca baik karena memproduksi atau mengonsumsi bahan bakar fosil, memberi izin eksplorasi, atau memberi subsidi maka hal itu bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional yang menjadi tanggung jawab negara tersebut.
Baca juga: Perubahan Iklim, Situs Warisan Dunia Terancam Kekeringan atau Banjir
Para pegiat iklim dan perwakilan negara-negara rentan dengan dampak iklim pun menyambut baik hasil putusan tersebut.
Menteri Perubahan Iklim Vanuatu, Ralph Regenvanu, mengatakan bahwa ini adalah momen penting bagi keadilan iklim.
"Ini telah menegaskan apa yang telah dikatakan dan diketahui oleh negara-negara rentan sejak lama bahwa negara-negara memang memiliki kewajiban hukum untuk bertindak mengatasi perubahan iklim," katanya.
Dia mengatakan bahwa dokumen itu akan menjadi alat vital dalam negosiasi iklim yang akan datang dan kemungkinan akan menginspirasi tuntutan hukum baru.
Harj Narulla, seorang pengacara yang berspesialisasi dalam litigasi iklim dan pengacara untuk Kepulauan Solomon mengatakan bahwa ICJ telah menguraikan kemungkinan negara-negara penghasil emisi besar digugat dan berhasil.
"Ganti rugi yang dimaksud bisa berupa pemulihan fisik misalnya memperbaiki bangunan atau lingkungan dan juga pembayaran uang," kata Narulla, dikutip dari Guardian, Rabu (23/7/2025).
Pengadilan memutuskan bahwa negara tidak hanya bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri, tetapi juga harus mengawasi dan mengatur perusahaan swasta yang kegiatan operasionalnya memperburuk krisis iklim.
Putusan pengadilan menekankan pula bahwa prinsip-prinsip hukum internasional, seperti pembangunan berkelanjutan, tanggung jawab bersama tapi berbeda, keadilan, dan kehati-hatian, harus diterapkan dalam penanganan iklim.
Selain itu, negara-negara wajib bekerja sama karena upaya yang tidak terkoordinasi tidak akan efektif dalam mengatasi perubahan iklim.
Baca juga: Pakar UGM Sebut Perubahan Iklim Ancam Pola Hujan dan Pertanian Indonesia
Pengadilan menyatakan juga bahwa lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan adalah prasyarat untuk menjalankan banyak hak asasi manusia, seperti hak untuk hidup, hak atas kesehatan, dan hak atas standar hidup yang layak, termasuk akses terhadap air, makanan, dan perumahan.
Lebih lanjut, ICJ menegaskan bahwa negara-negara yang tidak terikat perjanjian iklim pun harus memastikan kebijakan iklim mereka sesuai dengan hukum internasional.
Contohnya, Donald Trump yang menarik AS dari Perjanjian Paris lagi, dan pemimpin sayap kanan lain yang mengancam akan melakukan hal serupa, bisa jadi sasaran putusan ini.
Meskipun krisis iklim adalah masalah global, pengadilan menegaskan bahwa setiap negara tetap bertanggung jawab.
Artinya, negara yang dirugikan oleh dampak iklim bisa saja menuntut negara yang menyebabkannya. Meski sulit membuktikan hubungan sebab-akibatnya, pengadilan yakin ini bukan hal yang mustahil, apalagi dengan dukungan data ilmiah.
Baca juga: Riset Ahli: Udara Bersih Asia Timur Justru Ungkap Wajah Asli Krisis Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya