Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Putusan Bersejarah Mahkamah Internasional: Negara Bisa Dituntut karena Picu Krisis Iklim

Kompas.com, 25 Juli 2025, 18:41 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

Sumber Guardian

KOMPAS.com - Mahkamah Internasional (ICJ) telah memutuskan bahwa negara-negara wajib mengatasi penggunaan bahan bakar fosil. Jika tidak, dan terbukti menyebabkan kerusakan iklim, mereka berisiko diwajibkan membayar kompensasi.

Meski secara teknis tidak mengikat secara hukum, tetapi putusan tersebut dianggap memiliki kekuatan karena merangkum hukum yang sudah ada dan bukan menciptakan hukum baru.

Presiden ICJ, Yuji Iwasawa, dalam presentasinya di Den Haag, menekankan bahwa kerusakan iklim membawa dampak serius dan luas bagi alam serta manusia, bahkan mengancam keberadaan kita.

Sehingga putusan Mahkamah Internasional secara tegas menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas semua aktivitas yang merugikan iklim, dengan fokus utama pada penggunaan bahan bakar fosil.

Putusan ini menyatakan bahwa jika suatu negara gagal melindungi iklim dari emisi gas rumah kaca baik karena memproduksi atau mengonsumsi bahan bakar fosil, memberi izin eksplorasi, atau memberi subsidi maka hal itu bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional yang menjadi tanggung jawab negara tersebut.

Baca juga: Perubahan Iklim, Situs Warisan Dunia Terancam Kekeringan atau Banjir

Para pegiat iklim dan perwakilan negara-negara rentan dengan dampak iklim pun menyambut baik hasil putusan tersebut.

Menteri Perubahan Iklim Vanuatu, Ralph Regenvanu, mengatakan bahwa ini adalah momen penting bagi keadilan iklim.

"Ini telah menegaskan apa yang telah dikatakan dan diketahui oleh negara-negara rentan sejak lama bahwa negara-negara memang memiliki kewajiban hukum untuk bertindak mengatasi perubahan iklim," katanya.

Dia mengatakan bahwa dokumen itu akan menjadi alat vital dalam negosiasi iklim yang akan datang dan kemungkinan akan menginspirasi tuntutan hukum baru.

Harj Narulla, seorang pengacara yang berspesialisasi dalam litigasi iklim dan pengacara untuk Kepulauan Solomon mengatakan bahwa ICJ telah menguraikan kemungkinan negara-negara penghasil emisi besar digugat dan berhasil.

"Ganti rugi yang dimaksud bisa berupa pemulihan fisik misalnya memperbaiki bangunan atau lingkungan dan juga pembayaran uang," kata Narulla, dikutip dari Guardian, Rabu (23/7/2025).

Pengadilan memutuskan bahwa negara tidak hanya bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri, tetapi juga harus mengawasi dan mengatur perusahaan swasta yang kegiatan operasionalnya memperburuk krisis iklim.

Putusan pengadilan menekankan pula bahwa prinsip-prinsip hukum internasional, seperti pembangunan berkelanjutan, tanggung jawab bersama tapi berbeda, keadilan, dan kehati-hatian, harus diterapkan dalam penanganan iklim.

Selain itu, negara-negara wajib bekerja sama karena upaya yang tidak terkoordinasi tidak akan efektif dalam mengatasi perubahan iklim.

Baca juga: Pakar UGM Sebut Perubahan Iklim Ancam Pola Hujan dan Pertanian Indonesia

Pengadilan menyatakan juga bahwa lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan adalah prasyarat untuk menjalankan banyak hak asasi manusia, seperti hak untuk hidup, hak atas kesehatan, dan hak atas standar hidup yang layak, termasuk akses terhadap air, makanan, dan perumahan.

Lebih lanjut, ICJ menegaskan bahwa negara-negara yang tidak terikat perjanjian iklim pun harus memastikan kebijakan iklim mereka sesuai dengan hukum internasional.

Contohnya, Donald Trump yang menarik AS dari Perjanjian Paris lagi, dan pemimpin sayap kanan lain yang mengancam akan melakukan hal serupa, bisa jadi sasaran putusan ini.

Meskipun krisis iklim adalah masalah global, pengadilan menegaskan bahwa setiap negara tetap bertanggung jawab.

Artinya, negara yang dirugikan oleh dampak iklim bisa saja menuntut negara yang menyebabkannya. Meski sulit membuktikan hubungan sebab-akibatnya, pengadilan yakin ini bukan hal yang mustahil, apalagi dengan dukungan data ilmiah.

Baca juga: Riset Ahli: Udara Bersih Asia Timur Justru Ungkap Wajah Asli Krisis Iklim

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Krisis Air Bersih, KLH Kirim 10.000 Galon dan Alat Penjernih ke Aceh
Krisis Air Bersih, KLH Kirim 10.000 Galon dan Alat Penjernih ke Aceh
Pemerintah
Ahli Lingkungan Sebut Perubahan Iklim Langgar Hak Asasi Manusia
Ahli Lingkungan Sebut Perubahan Iklim Langgar Hak Asasi Manusia
Pemerintah
Pasar Inverter Surya Global Diprediksi Turun Selama Dua Tahun ke Depan
Pasar Inverter Surya Global Diprediksi Turun Selama Dua Tahun ke Depan
Swasta
Peneliti Ungkap Krisis Iklim Tentukan Nasib Tempat Tinggal Kita
Peneliti Ungkap Krisis Iklim Tentukan Nasib Tempat Tinggal Kita
Pemerintah
Kapasitas Produksi Etanol Masih Rendah,  Akademisi ITB Soroti Wacana BBM E10
Kapasitas Produksi Etanol Masih Rendah, Akademisi ITB Soroti Wacana BBM E10
Pemerintah
Siklon Tropis di Indonesia: Fenomena Langka dan Ancaman Nyata Akhir Tahun
Siklon Tropis di Indonesia: Fenomena Langka dan Ancaman Nyata Akhir Tahun
Pemerintah
Sampah Pemudik Capai 59.000 Ton, KLH Minta Pengelola Rest Area Olah Sendiri
Sampah Pemudik Capai 59.000 Ton, KLH Minta Pengelola Rest Area Olah Sendiri
Pemerintah
Genjot Transisi Energi, Jepang Siapkan Subsidi 1,34 Miliar Dollar AS
Genjot Transisi Energi, Jepang Siapkan Subsidi 1,34 Miliar Dollar AS
Pemerintah
Kemenhut Bersih-bersih Gelondongan Kayu Terbawa Arus Banjir di Sumatera
Kemenhut Bersih-bersih Gelondongan Kayu Terbawa Arus Banjir di Sumatera
Pemerintah
Guru Besar UGM: RI Mestinya Pajaki Minuman Berpemanis dan Beri Subsidi Makanan Sehat
Guru Besar UGM: RI Mestinya Pajaki Minuman Berpemanis dan Beri Subsidi Makanan Sehat
LSM/Figur
Lahan Gambut Dunia jadi Garis Depan Lawan Perubahan Iklim
Lahan Gambut Dunia jadi Garis Depan Lawan Perubahan Iklim
Pemerintah
Waspadai Potensi Hujan Lebat Disertai Angin Kencang dan Petir Selama Nataru
Waspadai Potensi Hujan Lebat Disertai Angin Kencang dan Petir Selama Nataru
Pemerintah
Cokelat Terancam Punah, Ilmuwan Temukan Alternatifnya
Cokelat Terancam Punah, Ilmuwan Temukan Alternatifnya
Pemerintah
Peneliti IPB Kembangkan Rompi Anti Peluru dari Limbah Sawit
Peneliti IPB Kembangkan Rompi Anti Peluru dari Limbah Sawit
Pemerintah
Biaya Perawatan Pasien Obesitas dengan Komorbid Membengkak Tiap Tahun
Biaya Perawatan Pasien Obesitas dengan Komorbid Membengkak Tiap Tahun
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Rp
Minimal apresiasi Rp 5.000
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau