JAKARTA, KOMPAS.com — Sebanyak 90.000 hektare lahan milik Presiden Prabowo Subianto di Takengon, Aceh, diserahkan untuk konservasi gajah.
Namun, wilayah tersebut sebelumnya merupakan Hutan Tanaman Industri (HTI), yang membuat efektivitasnya sebagai habitat gajah masih perlu diuji.
Menurut Direktur Hutan dan Satwaliar WWF-Indonesia, M. Ali Imron, kawasan ini terbagi ke dalam empat blok dan seluruhnya masih berstatus HTI.
Untuk menilai apakah bekas HTI tersebut layak menjadi habitat gajah, WWF-Indonesia telah melakukan penilaian ekologis pada salah satu blok.
“Hasil penilaian di Blok II menyimpulkan lokasi tersebut memang menjadi wilayah jelajah gajah, sehingga sangat layak dibina untuk menjadi habitat inti gajah. Walaupun sudah ada perubahan-perubahan,” ujar Imron kepada Kompas.com, Kamis (24/7/2025). Blok lainnya, kata dia, akan dinilai secara bertahap.
Baca juga: Gajah Dianggap Teman oleh Mamalia Hutan, Kepunahannya Picu Kerusakan
Namun menjadikan bekas HTI sebagai habitat liar bukan perkara sederhana. Tantangan utamanya adalah mengubah karakter lanskap yang semula monokultur menjadi habitat yang mampu mendukung kehidupan Gajah Sumatra, serta memastikan masyarakat sekitar tidak dirugikan.
Upaya ini, kata Imron, mencakup pembinaan habitat di dalam konsesi agar menjadi preferensi gajah liar, memperkuat peran masyarakat, serta mentransformasi tata kelola HTI menjadi Multi Usaha Kehutanan yang berfokus pada jasa ekosistem dan keberlanjutan.
Sebagai langkah konkret, WWF-Indonesia bersama PT Tusam Hutani Lestari (THL) sedang menyusun grand desain konservasi gajah di bentang alam Peusangan.
Salah satu upayanya adalah mengembalikan fungsi ekologis lahan dengan menanam tanaman pakan gajah, membangun area salt lick (area pengasinan untuk mendapatkan mineral), dan membuat kubangan-kubangan air.
“Pada bulan Oktober tahun ini akan mulai dibangun demplot-demplot pembinaan habitat tersebut,” ujar Imron.
Meski upaya restorasi telah dimulai, Imron menekankan bahwa pembinaan habitat bukan pekerjaan sekali jadi. Prosesnya harus terukur, berbasis sains, dan dievaluasi secara berkala.
“Indikator utamanya adalah semakin tinggi intensitas kehadiran gajah di lokasi, dan menurunnya intensitas pergerakan gajah ke area masyarakat, seperti kebun dan pemukiman,” jelasnya.
Baca juga: Gajah Bisa Jadi Kunci Selamatkan Planet dari Dampak Perubahan Iklim
Tujuan akhirnya adalah menciptakan ruang berbagi antara manusia dan gajah, tanpa mengorbankan keberlangsungan keduanya.
Saat ini, tim sedang memvalidasi zonasi konservasi gajah melalui survei lapangan intensif. Hasil validasi ini akan menentukan batas-batas habitat inti yang dinilai paling strategis untuk konservasi.
Menurut Imron, proyek ini berada di bawah supervisi Direktorat Jenderal KSDAE-Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya