Oleh Denny Gunawan*, Ari Pasek**, James Christian***, Wibawa Hendra Saputera****
KOMPAS.com - Tahun 2025 dibayangi ketegangan geopolitik global tak bekesudahan. Perang Ukraina dan Rusia masih berlanjut, konflik di Timur Tengah makin panas, dan perang dagang Amerika Serikat (AS)-Cina terus berlangsung.
Semua ini berpotensi memicu guncangan besar di pasar energi dunia, termasuk Indonesia.
RI masih bergantung pada impor minyak mentah dan gas alam. Pada 2024, impor energi nasional mencapai 36,27 miliar dollar AS atau sekitar Rp 575,39 triliun. Jika harga minyak melonjak akibat perang atau tarif dagang, dampaknya langsung terasa pada perekonomian nasional—misalnya harga BBM ataupun biaya produksi listrik.
Situasi serupa pernah terjadi pada awal perang Rusia-Ukraina tahun 2022. Harga minyak mentah tembus 100 dollar AS/barel dan membuat anggaran subsidi energi bengkak.
Kondisi ini seharusnya menjadi alarm untuk mempercepat transisi energi ke sumber terbarukan. Selain mengurangi emisi, energi terbarukan dari sumber domestik akan mengurangi ketergantungan impor dan memperkuat ketahanan energi.
Sayangnya, upaya diplomasi Indonesia dengan AS justru semakin menambah ketergantungan energi dari luar negeri. Presiden Prabowo Subianto menyepakati impor minyak mentah dan LPG senilai 15 miliar dollar AS (Rp 244 triliun) demi menurunkan tarif dagang AS terhadap Indonesia.
Salah satu cara cepat menambah pasokan energi terbarukan adalah melalui pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS atap.
Sejak 2018, pemerintah sudah mendorong adopsi PLTS atap melalui sejumlah peraturan.
Namun aturan-aturan ini mendapat banyak kritik. Ada aturan yang membatasi kapasitas PLTS atap dalam jaringan PLN.
Aturan lain yang terbit pada 2024 juga menghapus skema net-metering. Skema ini memungkinkan pengguna PLTS atap menjual kelebihan listriknya ke PLN.
Berbagai pembatasan ini mengurangi minat masyarakat untuk memasang PLTS atap, sehingga menghambat upaya pemerintah mencapai target energi terbarukan.
Untuk memperbanyak PLTS atap, Australia bisa jadi contoh sukses. Pemerintah Australia mengguyur subsidi biaya pemasangan PLTS atap. Skemanya melalui Small-scale Renewable Energy Scheme dari pemerintah federal ditambah berbagai program subsidi dan kredit tanpa bunga dari pemerintah negara bagian.
Hasilnya, biaya pemasangan PLTS atap bisa turun hingga 70% dari harga pasar.
Penurunan ini mendongkrak minat masyarakat karena panel surya semakin terjangkau bagi rumah tangga maupun bisnis kecil. Akhirnya, Australia menjadi salah satu negara dengan tingkat pemasangan PLTS atap tertinggi di dunia.
Selain PLTS atap, proyek pembangkit skala besar seperti PLTS terapung Cirata perlu diperbanyak untuk memenuhi kebutuhan listrik sektor industri dan transportasi.
Hal ini mengingat besarnya konsumsi energi nasional dari sektor industri (45,94 persen) dan transportasi (36,11 persen) yang mengonsumsi batu bara, gas alam, dan bahan bakar minyak (BBM).
Keandalan jaringan listrik nasional dan stasiun pengisian kendaraan listrik juga harus diperkuat agar transisi ke industri dan transportasi berbasis listrik bersih berjalan mulus.
Tidak semua sektor bisa cepat beralih ke tenaga listrik. Sektor penerbangan, maritim, dan industri, misalnya, tetap membutuhkan bahan bakar konvensional dengan kuantitas tinggi.
Karena itu, Indonesia juga perlu mengembangkan produksi bahan bakar terbarukan seperti hidrogen hijau, amonia, metanol, bioetanol, bioavtur, dan biodiesel. Tentu saja dengan catatan, produksinya harus menggunakan sumber listrik energi terbarukan dan tidak membuka lahan baru alias memanfaatkan limbah.
Untuk hidrogen, PLN sudah memulai pengembangan rantai pasok hidrogen buat industri serta kendaraan sel bahan bakar.
Salah satu proyek terbesar PLN adalah Garuda Hidrogen Hijau (GH2) yang merupakan proyek kerja sama dengan perusahaan energi asal Arab Saudi ACWA Power yang ditargetkan beroperasi 2026.
Hidrogen hijau ini nantinya akan digunakan untuk produksi amonia guna mendukung industri pupuk dalam negeri.
Selain GH2, ada empat proyek hidrogen lain yang tengah dikembangkan di berbagai lokasi, seperti Gresik, Jambi, Jawa Barat, hingga Sumba Timur, dengan target operasi 2026-2027.
Indonesia juga sudah menginisiasi produksi avtur ramah lingkungan. PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) di Kilang Cilacap bernama Bioavtur J2.4 dari produk turunan kelapa sawit. J2.4 merujuk pada konsentrasi produk turunan sawit sebesar 2,4 persen yang dicampur ke avtur fosil.
Proyek tahap pertama Bioavtur J2.4 mulai beroperasi pada 2021 dengan kapasitas produksi 9 ribu barel per hari. Teknologi pembuatannya dikembangkan oleh Pertamina Research and Technology Innovation (RTI) bersama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) sejak 2010.
Pertamina juga sedang membangun fasilitas bahan bakar berkelanjutan seperti bensin, avtur, dan diesel dari bahan baku minyak jelantah di berbagai kilang seperti Cilacap, Plaju, dan Sungai Gerong.
Semua ini menunjukkan bahwa Indonesia punya kemampuan dan sumber daya yang cukup untuk mengembangkan energi terbarukan. Lalu mengapa kita masih terus memilih opsi impor?
Untuk menambah modal transisi energi, Indonesia perlu memperkuat kerjasama multilateral, khususnya dengan negara tetangga di Asia-Pasifik, termasuk ASEAN dan Australia.
Insentif seperti tax holiday bisa menarik investor luar negeri. Perbaikan sistem perizinan juga penting agar modal asing lebih mudah masuk.
Pendanaan transisi energi bisa diperoleh lewat kerjasama dengan lembaga global, seperti Quad (koalisi Australia, India, Jepang, dan Amerika Serikat) yang berfokus pada transisi energi di kawasan Indo-Pasifik, International Energy Agency (IEA), Asian Development Bank (ADB), dan World Bank.
Indonesia juga telah menyepakati rencana ekspor listrik bersih ke Singapura hingga 2035 dengan kapasitas 3,4 GW, bernilai investasi 30-50 miliar dollar AS (setara Rp489-815 triliun) untuk PLTS serta 2,7 miliar dollar AS (setara Rp44 triliun) untuk manufaktur panel surya dan baterai.
Program ini diperkirakan dapat menambah devisa sebesar 4-6 miliar dollar AS (Rp65-97,4 triliun) per tahun.
Contoh lain, Pertamina juga sudah berhasil memasok bioavtur ke Virgin Australia untuk ajang Bali International Show pada 18-19 September 2024.
Melalui tiga langkah—percepatan elektrifikasi, pengembangan bahan bakar terbarukan, dan kerjasama multilateral—Indonesia punya kesempatan besar mempercepat transisi energi.
Dengan ketahanan energi yang kuat, pertumbuhan ekonomi berkelanjutan akan lebih mudah tercapai.
* Postdoctoral Research Associate, ARC Training Centre for the Global Hydrogen Economy, Particles and Catalysis Research Laboratory, UNSW Sydney
** Professor, Institut Teknologi Bandung
*** Business Manager at NSW Decarbonisation Innovation Hub, UNSW Sydney
**** Lecturer
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya