KOMPAS.com - 87 persen populasi dunia akan menjadi pemeluk agama pada 2050. Di tengah krisis iklim, komunitas iman dinilai sebagai salah satu yang bisa menggerakkan aksi.
Laporan terbaru GreenFaith dan Laudato Si Movement menunjukkan, sejak 2010 hingga 2024, pemberitaan media dan percakapan di media sosial yang melibatkan aktor keagamaan soal iklim meningkat konsisten.
Sorotan itu biasanya memuncak di momen besar, terutama Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP).
“Seruan dari para pemuka agama sangat penting, dan media massa senang mengutip pendapat mereka untuk berbagai isu. Ada peluang untuk menunjukkan kepemimpinan dan aksi keagamaan di akar rumput dalam menghadapi perubahan iklim,” kata Fletcher Harper, Direktur Eksekutif GreenFaith.
Fenomena serupa juga terjadi di Indonesia. Akun-akun tokoh publik Muslim yang memiliki posisi politik nasional dan regional terbukti efektif menyampaikan pesan yang memadukan nilai agama, warisan budaya, dan tanggung jawab ekologis.
Baca juga: Kemenag Akan Integrasikan Kesadaran Lingkungan dalam Pendidikan Agama
“Di tengah krisis iklim yang kian mendesak, suara iman menjadi jembatan harapan. Melalui nilai spiritual, komunitas beragama mampu menyalakan keberanian kolektif untuk menjaga bumi sebagai amanah suci,” ujar Hening Parlan, Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia dalam keterangan yang diterima Kompas.com, Kamis (4/9/2025).
Rahma Shofiana, Pemimpin Proyek Ummah for Earth Greenpeace Indonesia, menambahkan, tokoh agama dapat memimpin komunitas dengan memberi contoh sekaligus mengadvokasi kebijakan lingkungan.
“Ada banyak cara untuk terlibat dalam aksi iklim sekaligus memotivasi komunitas mereka untuk bekerja menerapkan perubahan sederhana guna mencapai gaya hidup berkelanjutan dan ramah lingkungan, serta mempererat hubungan antar umat beragama melalui aksi iklim. Apalagi, di Indonesia, tokoh agama kerap memiliki hubungan yang erat dengan pembuat kebijakan, peran mereka dapat mendorong dan mengadvokasi kebijakan iklim,” urainya.
Iyad Abhumoghli, Direktur Faith For Earth Coalition UNEP, menekankan bahwa perubahan iklim bukan sekadar isu kebijakan, melainkan kemanusiaan.
“Pemimpin agama membawa legitimasi yang tidak dapat diberikan oleh para ahli teknis atau politisi saja. Suara mereka berdampak pada miliaran pengikut, menciptakan peluang perubahan perilaku secara besar-besaran pada miliaran orang,” katanya.
Temuan ini menegaskan, menghubungkan pesan iklim dengan nilai agama bukan hanya relevan, tetapi juga strategis. Semakin banyak pemimpin agama yang bersuara, semakin besar peluang Indonesia mempercepat transisi menuju masa depan rendah karbon.
Baca juga: Buku Khotbah tentang Hutan Diluncurkan, Beri Inspirasi bagi Pemuka Agama
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya