Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Satwa Liar Terjepit Deforestasi, Perburuan, dan Perdagangan Ilegal

Kompas.com, 18 Desember 2025, 10:35 WIB
Manda Firmansyah,
Ni Nyoman Wira Widyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kerusakan habitat akibat deforestasi di dalam dan luar kawasan konservasi memperparah kondisi ruang hidup satwa liar, yang sebenarnya sudah terdesak aktivitas perburuan dan perdagangan ilegal.

"Kawasan konservasi ternyata jauh dari kata aman. Jadi tekanannya datang dari dua arah sekaligus, dari habitat yang menjepit dan dari satwanya juga diambil," ujar Vania Erlangga dari Garda Animalia dalam webinar beberapa hari lalu.

Baca juga:

Implementasi UU konservasi belum merata

Undang-Undang (UU) 32/2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya telah memperbaiki orientasi hukum dari regulasi pendahulunya, UU 5/1990. Khususnya, memperluas cara pandang dalam perlindungan satwa, yang sudah mencakup seluruh ekosistem penompangnya.

UU 32/2024 disebut relevan dengan ancaman-ancaman terkini, seperti perdagangan satwa liar yang merupakan kejahatan terorganisasi.

Dari segi pemidanaan, UU 32/2024 memperberat hukuman dan sanksi, serta memperluas target pelaku kejahatan. Namun, implementasi UU 32/2024 belum merata di semua kasus.

"Di Surabaya misalnya, tiga terdakwa yang mengangkut burung-burung dilindungi dari Papua hanya dijatuhi empat bulan (penjara). Padahal, seluruh unsur-unsur pasal menunjukkan bahwa sehahrusnya berlaku minimum tiga tahun. Ini menunjukkan bahwa rasio legis UU baru yang ingin menaikkan standar pemidanaan belum selalu ditangkap secara utuh," jelas Vania.

Foto close-up Orangutan Tapanuli. Kerusakan habitat akibat deforestasi di dalam dan luar kawasan konservasi makin menekan satwa liar yang juga diburu dan diperdagangkan ilegal.DOK. SHUTTERSTOCK/NISANSALA Foto close-up Orangutan Tapanuli. Kerusakan habitat akibat deforestasi di dalam dan luar kawasan konservasi makin menekan satwa liar yang juga diburu dan diperdagangkan ilegal.

Menurut Vania, hal tersebut menunjukkan sistem peradilan di Indonesia masih dalam masa transisi.

Hingga Oktober 2025, jumlah kasus kejahatan satwa liar yang teregister dengan UU 32/2024 mencapai 90 perkara, sedangkan jumlah kasus kejahatan satwa liar yang telah diputuskan sebanyak 73 perkara.

Untuk rata-rata putusan penjara kasus kejahatan satwa liar adalah 34 bulan. Sementara itu, rata-rata putusan denda sebesar Rp 252 juta (Rp 252.233.871).

UU 32/2024 mengatur perizinan berbasis risiko dan hanya berlaku untuk satwa yang tidak dilindungi. Ia menganggap hal tersebut semestinya ditanggapi pemerintah dengan memperketat aspek pengawasannya, tapi kenyataannya justru sebaliknya.

"Kami melihat bahwa sanksi administratif seperti pembekuan atau pencabutan izin itu masih sangat minim diterapkan, termasuk terhadap perusahaan akuntan yang misalnya jelas-jelas berperan dalam rantai pasok perdagangan (satwa liar)," ucapnya.

Baca juga:

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Lindungi Pemain Tenis dari Panas Ekstrem, ATP Rilis Aturan Baru
Lindungi Pemain Tenis dari Panas Ekstrem, ATP Rilis Aturan Baru
LSM/Figur
IEA: 60 Persen Perusahaan Global Kekurangan 'Tenaga Kerja Hijau'
IEA: 60 Persen Perusahaan Global Kekurangan "Tenaga Kerja Hijau"
Pemerintah
Pertamina Andalkan Strategi Migas Tetap Jalan, Geothermal Jadi Masa Depan
Pertamina Andalkan Strategi Migas Tetap Jalan, Geothermal Jadi Masa Depan
BUMN
ASRI Awards, Penghargaan bagi Siswa hingga Sekolah lewat Inovasi Keberlanjutan
ASRI Awards, Penghargaan bagi Siswa hingga Sekolah lewat Inovasi Keberlanjutan
Swasta
Pelindo Terminal Petikemas Terapkan Teknologi Terumbu Buatan di Karimunjawa
Pelindo Terminal Petikemas Terapkan Teknologi Terumbu Buatan di Karimunjawa
BUMN
Teknologi Satelit Ungkap Sumber Emisi Metana dari Minyak, Gas, dan Batu Bara Global
Teknologi Satelit Ungkap Sumber Emisi Metana dari Minyak, Gas, dan Batu Bara Global
LSM/Figur
Sinarmas Land dan Waste4Change Resmikan Rumah Pemulihan Material di Tangerang
Sinarmas Land dan Waste4Change Resmikan Rumah Pemulihan Material di Tangerang
Swasta
Transisi EV Bisa Cegah 700.000 Kematian Dini, tapi Tren Pemakaian Masih Rendah
Transisi EV Bisa Cegah 700.000 Kematian Dini, tapi Tren Pemakaian Masih Rendah
LSM/Figur
Google Rilis Panduan untuk Bantu Laporan Keberlanjutan dengan AI
Google Rilis Panduan untuk Bantu Laporan Keberlanjutan dengan AI
Swasta
Indonesia Tak Impor Beras, Pemerintah Dinilai Perlu Waspadai Harga dan Stok
Indonesia Tak Impor Beras, Pemerintah Dinilai Perlu Waspadai Harga dan Stok
LSM/Figur
Walhi Kritik Usulan Presiden Prabowo Ekspansi Sawit dan Tebu di Papua
Walhi Kritik Usulan Presiden Prabowo Ekspansi Sawit dan Tebu di Papua
Pemerintah
Greenpeace Sebut Banjir Sumatera akibat Deforestasi dan Krisis Iklim
Greenpeace Sebut Banjir Sumatera akibat Deforestasi dan Krisis Iklim
LSM/Figur
Menteri UMKM Minta Bank Tak Persulit Syarat KUR untuk Usaha Mikro
Menteri UMKM Minta Bank Tak Persulit Syarat KUR untuk Usaha Mikro
Pemerintah
Satwa Liar Terjepit Deforestasi, Perburuan, dan Perdagangan Ilegal
Satwa Liar Terjepit Deforestasi, Perburuan, dan Perdagangan Ilegal
LSM/Figur
Menteri UMKM Berencana Putihkan Utang KUR Korban Banjir Sumatera
Menteri UMKM Berencana Putihkan Utang KUR Korban Banjir Sumatera
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau