KOMPAS.com - Pertambangan untuk energi terbarukan disebut sebagai "faktor pendorong deforestasi yang intensif", berdasarkan studi terbaru yang diterbitkan di jurnal Nature Communications pada Minggu (21/12/2025).
"Pertambangan merupakan salah satu faktor utama penyebab deforestasi, tapi skala sebenarnya kontribusinya terhadap kehilangan hutan alam global dan emisi karbon yang terkait masih tersembunyi akibat inventarisasi aktivitas pertambangan yang tidak lengkap," bunyi studi tersebut, dilansir dari Nature, Selasa (23/12/2025).
Baca juga:
Studi yang dipimpin oleh Xiaoxin Zhang dari University of Hong Kong ini menunjukkan, deforestasi yang disebabkan oleh pertambangan dua sampai tiga kali lebih tinggi dibanding perkiraan sebelumnya dari data yang ada, dengan total deforestasi 19.765 kilometer persegi dan emisi karbon sebesar 0,75 Pg COs selama periode 2001-2023.
Tidak hanya itu, lebih dari setengah atau 50,2 persen deforestasi ini terkait dengan aktivitas pertambangan yang tidak tercatat.
Studi menunjukkan, pertambangan untuk energi terbarukan jadi pendorong deforestasi intensif, dengan Indonesia yang terdampak paling parah.Sebagai informasi, mewujudkan dunia bebas karbon memerlukan mineral, seperti nikel, litium, dan tembaga. Mineral tersebut merupakan bahan baku untuk membuat baterai kendaraan listrik, panel surya, atau turbin angin.
Tambang-tambang untuk mineral itu sering kali berada di kawasan hutan.
Studi tersebut menunjukkan antara tahun 2001 hingga 2012, sebanyak 66,20 persen deforestasi terjadi di kawasan tambang, tempat ekstraksi mineral yang dipakai untuk produksi energi terbarukan.
Setelah tahun 2012, persentase deforestasi yang lebih tinggi terpantau pada tambang-tambang yang menyasar mineral untuk produksi energi terbarukan (74,88 persen), dibandingkan dengan ambang untuk produksi energi tak terbarukan (25,11 persen), dilansir dari Down to Earth.
Sebagai contoh, penambangan nikel yang digunakan dalam baterai kendaraan listrik dan sistem penyimpanan energi, kerap melibatkan perubahan penggunaan lahan skala besar, termasuk deforestasi di wilayah-wilayah yang kaya akan keanekaragaman hayati.
Temuan tersebut didapat setelah para peneliti menggabungkan lapisan kehilangan hutan dan tahun kehilangan hutan global beresolusi tinggi dengan area pertambangan selama tahun 2001-2023.
Mereka kemudian membandingkan tingkat penggundulan hutan, khususnya antara tambang yang tercatat dengan yang tak tercatat.
Studi ini mencakup 236.028 lokasi pertambangan di seluruh dunia, termasuk sejumlah besar lokasi operasi pertambangan yang tidak tercatat.
Baca juga:
Studi menunjukkan, pertambangan untuk energi terbarukan jadi pendorong deforestasi intensif, dengan Indonesia yang terdampak paling parah.Studi menemukan adanya penggundulan hutan terkait aktivitas pertambangan yang signifikan pada abad ke-21.
Sepanjang abad tersebut, 175 negara di seluruh dunia mengalami deforestasi di daerah pertambangan yang menyebabkan hilangnya total 19.765 kilometer persegi deforestasi, yang berkontribusi terhadap emisi CO2 sebesar 0,75 Pg dari tahun 2001 hingga 2023.
Hutan tropis terkena dampak yang sangat serius, dengan 10.824 km persegi deforestasi akibat pertambangan yang menyumbang 0,56 Pg CO2 dalam emisi karbon hutan, menjadikannya terlihat jelas sebagai titik panas.
Sementara itu wilayah beriklim dingin dan sedang juga menghadapi deforestasi yang cukup besar, masing-masing sebesar 5.162 km persefi dan 3.470 km persefi deforestasi akibat pertambangan.
Indonesia mengalami deforestasi paling tinggi di wilayah pertambangan, yang mewakili 21,72 persen (4.292,33 km persegi) dari total deforestasi global dan menyumbang 0,22 Pg CO2 dalam emisi karbon.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya