KOMPAS.com - Studi yang dipublikasikan di jurnal Nature Communications mengungkapkan cuaca ekstrem bisa mendorong kelompok tertentu untuk berpindah negara dan memengaruhi seberapa banyak orang-orang untuk bermigrasi.
"Cuaca ekstrem dapat mendorong orang untuk berpindah, namun di saat yang sama juga meningkatkan jumlah orang yang tidak mampu bermigrasi," kata penulis studi Hélène Benveniste, seorang asisten profesor ilmu sosial lingkungan di Stanford Doerr School of Sustainability.
"Penelitian kami menunjukkan bahwa respons migrasi terhadap cuaca, sama seperti keputusan migrasi pada umumnya, sangat bergantung pada karakteristik demografi," terang Benveniste lagi, seperti dikutip dari Phys, Kamis (4/9/2025).
Analisis baru ini pun membantu menjelaskan temuan-temuan yang saling bertentangan dari penelitian sebelumnya.
Baca juga: Cuaca Ekstrem Rusak Lingkungan, Turunkan Nilai Jasa Ekosistem
Contohnya, beberapa studi terdahulu memberikan hasil yang beragam mengenai apakah pria atau wanita, atau orang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi atau lebih rendah, memiliki kecenderungan lebih besar untuk bermigrasi setelah mengalami panas ekstrem.
Peneliti kemudian menemukan bahwa hasil yang saling bertentangan tersebut sering kali mencerminkan pola global yang terbentuk oleh iklim lokal dan karakteristik demografi calon migran.
Kesimpulan tersebut didapat setelah peneliti menganalisis lebih dari 125.000 kasus migrasi lintas batas dari 168 negara asal ke 23 negara tujuan, dan lebih dari 480.000 perpindahan di dalam 71 negara.
Setiap perpindahan diklasifikasikan berdasarkan usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, lokasi asal, dan tujuan migran, menghasilkan 32 kelompok demografi yang berbeda.
Tim kemudian memetakan kumpulan data ini dengan catatan harian suhu dan kelembaban tanah, yang sangat berkaitan erat dengan ketahanan pangan, mata pencarian, dan kesejahteraan.
Dengan mempertimbangkan perbedaan demografi, model baru ini mampu memprediksi pola migrasi hingga 12 kali lebih baik untuk arus lintas batas, dan 5 kali lebih baik untuk pergerakan domestik, dibandingkan model terdahulu yang menganggap setiap orang memiliki respons yang sama terhadap guncangan cuaca.
Analisis tersebut menunjukkan bahwa setelah periode suhu tinggi, ada beberapa pola migrasi yang terjadi.
Pertama, anak-anak di bawah 15 tahun menjadi kurang mungkin untuk bermigrasi ke negara baru. Lantas, orang dewasa dengan pendidikan rendah menjadi lebih mungkin untuk pindah, terutama mereka yang berusia di atas 45 tahun.
Baca juga: Sepanjang 2024, Dunia Dilanda 151 Peristiwa Cuaca Ekstrem karena Perubahan Iklim
Sementara itu, tingkat migrasi lintas batas bagi orang dewasa dengan pendidikan di atas SMA hampir tidak terpengaruh oleh cuaca.
"Hasil studi kami juga mengindikasikan bahwa banyak dari mereka yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim tidak akan memiliki kemampuan untuk menghindari bahaya," tulis para penulis.
Lebih lanjut, kondisi iklim dasar tampaknya memainkan peran yang lebih besar dalam membentuk perpindahan penduduk di dalam suatu negara.
"Dampak tekanan cuaca terhadap keputusan orang untuk pindah ke negara asal mereka lebih bergantung pada zona iklim setempat, serta demografi," kata Benveniste.
Dengan memproyeksikan skenario di mana suhu rata-rata Bumi naik lebih dari 2,1 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri, studi ini memperkirakan pula tingkat migrasi pada tahun 2100 dapat meningkat sekitar seperempat di antara orang dewasa yang lebih tua dan kurang berpendidikan dan turun hingga sepertiga di antara mereka yang termuda dan paling tidak berpendidikan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya