KOMPAS.com - Aktivis lingkungan India, Vandana Shiva, dalam bukunya "Kodrat Alam; Gangguan Metabolik Perubahan Iklim" (2025), menulis bahwa pergeseran dari sistem pangan berbasis keanekaragaman hayati menuju sistem berbahan bakar minyak, fosil, dan kimia telah melanggar siklus ekologi bumi.
Menurut Shiva, pergeseran tersebut menciptakan paradigma ekstraktivisme dan menghasilkan limbah yang mencemari air, tanah, atmosfer, hingga makanan manusia. Limbah dari sistem pangan berbahan bakar minyak, fosil, dan kimia, katanya, memicu krisis iklim, pandemi penyakit kronis, serta gangguan metabolisme bumi dan manusia.
"Pertanian bebas bahan bakar fosil atau bebas bahan bakar kimia dan mengembalikan partikel organik ke tanah memungkinkan keanekaragaman tanah kembali muncul, karena simbiosis antara tanaman dan organisme tanah, seperti jamur mikoriza, memproduksi pangan lebih sehat," tulis Shiva.
Namun, Guru Besar IPB University, Dwi Andreas Santosa, tidak sependapat dengan gagasan pertanian organik tanpa minyak, fosil, dan kimia.
"Bagaimana ke depan menyelaraskan antara pikiran-pikiran (Vandana Shiva) yang seperti tadi dan perkembangan ilmu yang ada. Untuk itu tadi saya ingatkan juga, hati-hati dengan gerakan pertanian organik. Kalau itu kita laksanakan secara radikal, itu bisa berat. Contohnya sudah ada, Sri Lanka," ujarnya dalam webinar peluncuran buku Kodrat Alam, Jumat (29/8/2025).
Andreas mencontohkan kegagalan Sri Lanka pada 2022, ketika negara tersebut meninggalkan pola pertanian konvensional dan beralih sepenuhnya ke pertanian organik.
"Sri Lanka mencanangkan diri menjadi negara pertanian organik dunia. Sri Lanka akan mengekspor produknya ke luar negeri dan mau diorganikkan seluruhnya di seluruh negara. Dengan cara apa? Melarang impor pupuk kimia. Lalu apa yang terjadi? Yang terjadi, produksi panen padi pada saat itu turun 40 persen sampai 50 persen," kata Andreas.
Kegagalan itu berujung pada krisis pangan, kekacauan sosial, hingga penggulingan Presiden Gotabaya Rajapaksa.
Baca juga: Pakar UGM Sebut Perubahan Iklim Ancam Pola Hujan dan Pertanian Indonesia
"Bagaimana masyarakat kemudian masuk ke istana dan berenang di kolam renang istana. Dan akhirnya, Rajapaksa meninggalkan Sri Lanka. Jadi, harus hati-hati juga mengenai beberapa konsep yang seolah-olah bagus, tapi ketika dilaksanakan, seperti yang terjadi di Sri Lanka," ucapnya.
Andreas juga menyinggung gerakan Go Organic 2010 yang dicanangkan Menteri Pertanian Anton Apriyantono, yang menurutnya lebih bersifat proyek daripada solusi berkelanjutan.
Lebih jauh, Andreas menilai seluruh program swasembada pangan Indonesia periode 2014–2024 gagal. Program tersebut mencakup Upsus Pajale (padi, jagung, kedelai, 2015–2019), swasembada bawang putih (2017–2021), swasembada gula (2015–2019), swasembada daging sapi, serta food estate (1996–2023).
Di sisi lain, impor pangan 12 komoditas utama melonjak dari 22 juta ton menjadi 34 juta ton hanya dalam satu dekade.
"Bisa dibayangkan hanya dalam waktu 10 tahun, melonjak sangat tinggi, dan ini ketergantungan kita (terhadap impor pangan)," ujar Andreas.
Ia menambahkan, konsep kedaulatan pangan berbeda dengan paradigma ketahanan pangan. Dalam kedaulatan pangan, hubungan petani dengan petani maupun dengan alam bersifat harmoni dan mengakui kompleksitas produksi. Sebaliknya, ketahanan pangan menekankan hubungan antaraktor ekonomi yang kompetitif, rasional, dan mekanistik, dengan model produksi berbasis pertanian industri.
Baca juga: Pengesahan RUU Masyarakat Adat, Jalan Pulang Menuju Pertanian Berkelanjutan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya