Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Jadi Poros Utama Investasi Hijau China, Nilai Capai Rp 3.900 Triliun

Kompas.com - 29/09/2025, 17:00 WIB
Bambang P. Jatmiko

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com – Indonesia menempati posisi teratas sebagai tujuan investasi hijau China, dengan nilai komitmen mencapai hampir 250 miliar dollar AS atau sekitar Rp 3.900 triliun (kurs Rp 15.600).

Posisi ini menegaskan peran Indonesia sebagai pusat rantai nilai industri hijau global yang tengah dibangun Negeri Tirai Bambu.

Temuan tersebut tercantum dalam laporan kebijakan berjudul China’s Green Leap Outward yang diterbitkan oleh Net Zero Industry Policy Lab.

Laporan itu mencatat perusahaan-perusahaan China telah menyalurkan investasi lebih dari 227 miliar dollar AS ke proyek manufaktur hijau global—melewati nilai Marshall Plan Amerika Serikat yang setara 200 miliar dollar AS dalam kurs saat ini.

Baca juga: Nikel dan Wajah Baru Morowali, dari Tanah Leluhur ke Pusat Industri Dunia

Menurut laporan, ASEAN masih menjadi kawasan dengan proyek terbanyak. Namun, aliran modal ke Timur Tengah dan Afrika Utara tumbuh pesat hingga 20 persen. Meski demikian, Indonesia bersama Malaysia, Brasil, dan Hungaria tetap konsisten menarik aliran proyek baru.

Sektor manufaktur material baterai tercatat sebagai penerima investasi terbesar, dengan nilai komitmen lebih dari 62 miliar dollar AS hingga 2025.

Cadangan yang Melimpah

 

Sebagian besar proyek terpusat di ASEAN, terutama Indonesia yang memiliki cadangan nikel dan kobalt melimpah. Sejumlah produsen besar seperti CNGR, Huayou Cobalt, dan GEM telah memusatkan operasinya di Tanah Air.

“Perusahaan Tiongkok tengah melakukan ekspansi. Namun, apakah megaproyek industri hijau ini membawa hasil pembangunan positif atau sekadar menjadikan negara tuan rumah sebagai ‘pulau manufaktur’ sangat bergantung pada kebijakan domestik,” ujar Tim Sahay, Co-Director Net Zero Industrial Policy Lab Johns Hopkins, dalam laporan tersebut.

Selain Indonesia yang menjadi hot spot material baterai, laporan juga menyoroti Maroko untuk fasilitas katoda dan hidrogen, serta negara-negara Teluk untuk manufaktur modul surya dan elektroliser.

Sementara Eropa dan Amerika Serikat tetap menjadi tujuan investasi bernilai tinggi, meski menghadapi hambatan perdagangan yang kian meningkat.

Baca juga: Smelter MMP 100 Persen PMDN, Dorong Hilirisasi Industri Nikel Berbasis ESG

Namun, di balik derasnya aliran investasi, sejumlah masalah masih membayangi. Naomi Devi Larasati, Policy Strategist CERAH menyatakan pemerintah harus memastikan bahwa investasi yang masuk harus benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat.

“Kolaborasi dengan Tiongkok wajar dilakukan untuk mempercepat transisi energi. Namun, investasi yang masuk harus benar-benar membawa manfaat nyata bagi masyarakat sekitar lokasi industri, bukan hanya keuntungan ekonomi bagi pemerintah pusat,” kata Naomi Devi Larasati dalam keterangan resminya, Senin (29/9/2025).

Ia menekankan perlunya kepastian penciptaan lapangan kerja lokal, alih teknologi dan keterampilan, serta kepatuhan pada standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dalam setiap proyek investasi.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau