PIDATO Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum PBB ke-80 menjadi salah satu sorotan penting dalam diskursus global tentang perubahan iklim.
Dalam forum yang dihadiri oleh para pemimpin dunia, Prabowo menekankan bahwa perubahan iklim bukan lagi ancaman di masa depan, melainkan kenyataan yang sudah dirasakan hari ini.
Indonesia sebagai negara kepulauan telah menghadapi dampak nyata, mulai dari kenaikan muka laut, intrusi air asin, hingga intensitas cuaca ekstrem yang semakin sulit diprediksi.
Pidato ini memperlihatkan bahwa Indonesia tidak sekadar hadir sebagai peserta, tetapi sebagai negara yang membawa pengalaman langsung dan menawarkan solusi.
Sikap ini kontras dengan pidato Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang masih mempertahankan narasi penolakan terhadap isu perubahan iklim.
Trump menyebut kebijakan energi hijau sebagai beban ekonomi dan menegaskan keyakinannya bahwa krisis iklim adalah "penipuan terbesar" yang pernah terjadi.
Baca juga: Keracunan MBG, Pers, dan Hari Hak untuk Tahu
Retorika seperti ini jelas bertolak belakang dengan konsensus ilmiah global yang telah lama mengakui bahwa aktivitas manusia, terutama penggunaan bahan bakar fosil, adalah penyebab utama pemanasan global.
Dengan pandangan tersebut, Trump mengirim sinyal yang meresahkan karena melemahkan solidaritas internasional dalam menghadapi krisis bersama.
Indonesia melalui pidato Prabowo justru berusaha menegaskan arah berbeda. Ia menekankan pentingnya aksi nyata, bukan sekadar perdebatan politik.
Indonesia, menurut Prabowo, berkomitmen mempercepat transisi energi terbarukan, memperluas reforestasi, dan membangun infrastruktur adaptasi seperti tanggul laut raksasa di kawasan pesisir yang paling rentan.
Target net zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat jika memungkinkan ditekankan kembali, sebagai bukti bahwa Indonesia ingin sejajar dengan negara-negara yang lebih maju dalam agenda iklim global.
Penekanan pada aksi nyata ini menunjukkan bahwa Indonesia berusaha memosisikan diri sebagai bagian dari solusi, bukan sekadar korban.
Sebagai negara berkembang dengan tingkat kerentanan tinggi, Indonesia memahami betul bahwa krisis iklim mengancam ketahanan pangan, sumber daya air, dan keberlanjutan pembangunan.
Prabowo juga menyinggung pentingnya kearifan lokal dan peran masyarakat adat yang selama ini menjaga hutan dan ekosistem.
Pesan ini sekaligus memberi warna berbeda: bahwa solusi iklim tidak hanya datang dari teknologi modern, tetapi juga dari praktik tradisional yang sudah teruji selama berabad-abad.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya