Erosi lahan, banjir, atau menurunnya kualitas air seperti yang terjadi di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, adalah contoh nyata. Sektor pertambangan, konstruksi, hingga perkebunan yang selama ini menopang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah justru rentan terhadap dampak degradasi lingkungan.
Baca juga: Pertamina Kembangkan Inisiatif Bisnis Hijau, Dukung Pengurangan Emisi
Namun, di balik risiko, tersimpan peluang. Menurut laporan Future of Nature and Business, transisi menuju ekonomi ramah alam berpotensi membuka peluang bisnis senilai 10 triliun dollar AS secara global, khususnya di sektor pangan, energi, dan infrastruktur.
“Ketika bisnis mulai menghitung ketergantungan dan dampaknya terhadap alam, mereka akan menyadari bahwa berinvestasi pada keberlanjutan bukan hanya soal tanggung jawab sosial, melainkan juga strategi bisnis yang cerdas,” jelasnya.
Saat ini, visi Indonesia Emas 2045 hanya bisa tercapai jika pembangunan menempatkan keanekaragaman hayati sebagai fondasi utama. Kolaborasi pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan lembaga keuangan menjadi kunci.
“Pertanyaannya sekarang bukan lagi apakah bisnis harus berubah, tetapi seberapa cepat dunia usaha dapat menjadi motor transisi menuju ekonomi yang benar-benar berpihak pada alam,” tegas Dewi.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya