Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Azzam Fawwaz
Direktur Bidang Informasi Indonesian Coexistence

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Ketika Indonesia Sibuk Menyelamatkan Bisnis, Bukan Bumi

Kompas.com, 23 November 2025, 15:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

KONFERENSI Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) di Belém, Brasil, kembali membuka perdebatan tentang ke mana arah politik iklim global bergerak. Pada satu sisi, forum ini dipromosikan sebagai ruang untuk memperkuat ambisi pengurangan emisi. Namun pada sisi lain, semakin jelas bahwa mekanisme pasar karbon yang terus dilegalkan justru memperlihatkan wajah lain COP: ruang yang semakin dikuasai negara-korporasi, bukan masyarakat yang selama ini menjaga hutan dan biodiversitas.

Ambisi Perdagangan Karbon dan Ekspansi Kepentingan Negara-Korporasi 

Delegasi Indonesia datang ke COP30 dengan target ambisius: transaksi perdagangan karbon hingga Rp16 triliun. Target itu berangkat dari rencana menjual 90 juta ton CO2 dalam bentuk kredit karbon, baik dari sektor kehutanan, kelautan, maupun teknologi. Delegasi yang berjumlah lebih dari seratus negosiator disiapkan untuk mempertemukan penjual dan pembeli, serta membangun kesepakatan bilateral dengan berbagai lembaga dan perusahaan.

Angka Rp16 triliun sering digambarkan sebagai peluang emas bagi Indonesia untuk memasuki ekonomi hijau. Namun pertanyaan yang perlu diajukan adalah: apakah manfaat ekonomi ini benar-benar akan mengalir ke masyarakat adat, petani kecil, dan penjaga hutan yang menghasilkan jasa ekosistem? Ataukah justru menjadi peluang baru bagi negara dan korporasi memperluas kontrol atas ruang hidup masyarakat?

Para ekonom lingkungan mengingatkan bahwa pasar karbon bekerja berdasarkan logika komodifikasi. Hutan, udara, dan laut diperlakukan sebagai aset finansial. Dalam kerangka kapitalisme hijau, nilai karbon dihitung melalui sertifikasi, verifikasi, dan transaksi, sementara aspek non-ekonomi—seperti nilai kultural, spiritual, dan relasi ekologis—tidak diperhitungkan.

Di sinilah problem mendasar muncul: apakah mekanisme ini akan mendorong pengurangan emisi yang nyata, atau sekadar menjadi ladang baru untuk akumulasi kapital?

Baca juga: COP30: Pemerintah Siapkan Strategi Hadapi Fraud Perdagangan Karbon

Ketidakadilan Struktural dan Luka bagi Masyarakat Adat

Di tengah gaung transaksi karbon, suara masyarakat adat justru menjadi yang paling ditinggalkan. Di Brasil, komunitas adat seperti Munduruku melakukan aksi protes selama COP30, menuding penyelenggaraan konferensi telah mengecilkan peran mereka dalam mengambil keputusan tentang lahan dan wilayah adat.

Kejadian serupa sering terjadi di Asia Tenggara, Afrika, hingga Pasifik, di mana proyek-proyek karbon memasuki wilayah adat tanpa konsultasi yang memadai. Para peneliti hak asasi manusia mencatat bahwa ketika karbon dijadikan komoditas, wilayah adat sering berubah status menjadi “aset karbon” yang membutuhkan pengawasan eksternal. Hal ini membuka peluang kontrak jangka panjang yang membatasi akses masyarakat terhadap hutan, mengubah praktik adat, bahkan menyebabkan konflik atas kontrol lahan.

Di sejumlah negara, proyek offset juga terbukti hanya mengalirkan sebagian kecil pendapatan kepada komunitas lokal, sementara lembaga perantara dan perusahaan mengambil keuntungan terbesar.

Risiko ini semakin besar ketika negara mengejar target transaksi besar seperti di COP30. Masyarakat adat berpotensi tidak mendapatkan posisi sebagai pengambil keputusan, hanya sebagai objek proyek yang dipantau dari luar. Padahal, dalam banyak studi, justru wilayah adat yang memiliki tingkat deforestasi terendah dan keutuhan ekologi tertinggi. Dengan kata lain, mereka menjaga hutan bukan karena logika pasar, melainkan relasi budaya yang panjang dengan alam.

Baca juga: Fokus Perdagangan Karbon, Misi RI di COP 30 Dinilai Terlalu Jualan

Kualitas Kredit Karbon dan Tantangan Keberlanjutan

Selain persoalan keadilan, masalah kualitas kredit karbon juga menjadi sorotan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian proyek offset memiliki integritas lingkungan yang rendah. Masalah seperti penghitungan ganda, klaim penurunan emisi yang tidak dapat diverifikasi, hingga pengukuran baseline yang keliru menjadi temuan umum.

Sejumlah laporan lembaga independen menyebut pasar karbon global menghadapi “krisis kredibilitas”, terutama karena tidak semua kredit benar-benar mewakili pengurangan emisi yang nyata.

Ketergantungan negara terhadap offset juga dapat melemahkan transformasi sektor energi. Alih-alih menurunkan emisi dari sumbernya, negara atau korporasi dapat membeli kredit untuk mengompensasi emisi yang terus dilepaskan. Mekanisme ini, menurut para ahli, menciptakan ilusi progres, padahal secara global emisi tetap tinggi. Bahkan tuan rumah COP30, Brasil, memperingatkan agar negara-negara tidak menjadikan kredit karbon sebagai jalan pintas yang menunda transisi energi bersih.

Di Indonesia, tantangan juga muncul dari minimnya mekanisme transparansi publik, lemahnya pengawasan lapangan, serta belum kuatnya perlindungan hak atas tanah di wilayah adat. Tanpa pembenahan ini, skema perdagangan karbon berpotensi menjadi instrumen yang memperkuat korporasi dan elite politik, bukan alat pengurangan emisi yang berkeadilan.

Pada akhirnya, COP30 memberi kita cermin: apakah Indonesia ingin berada dalam jalur kapitalisme karbon yang menguntungkan negara-korporasi, atau membangun jalan lain yang menempatkan masyarakat adat sebagai subjek utama keadilan iklim? Keputusan itu tidak hanya menentukan arah ekonomi hijau, tetapi juga masa depan hutan, laut, dan komunitas yang telah menjaga ekosistem jauh sebelum karbon dihitung sebagai komoditas finansial.

Baca juga: Tak Niat Atasi Krisis Iklim, Pemerintah Bahas Perdagangan Karbon untuk Cari Cuan

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Ketika Indonesia Sibuk Menyelamatkan Bisnis, Bukan Bumi
Ketika Indonesia Sibuk Menyelamatkan Bisnis, Bukan Bumi
Pemerintah
Iran Alami Kekeringan Parah, 14 Juta Warga Teheran Berisiko Direlokasi
Iran Alami Kekeringan Parah, 14 Juta Warga Teheran Berisiko Direlokasi
Pemerintah
Studi Sebut Mobil Murah Jauh Lebih Berpolusi
Studi Sebut Mobil Murah Jauh Lebih Berpolusi
LSM/Figur
Uni Eropa Tunda Setahun Penerapan Regulasi Deforestasi EUDR
Uni Eropa Tunda Setahun Penerapan Regulasi Deforestasi EUDR
Pemerintah
Dekan FEM IPB Beri Masukan untuk Pembangunan Afrika dengan Manfaatkan Kerja Sama Syariah
Dekan FEM IPB Beri Masukan untuk Pembangunan Afrika dengan Manfaatkan Kerja Sama Syariah
LSM/Figur
Studi: Negara-negara Kaya Kompak Pangkas Bantuan untuk Negara Miskin
Studi: Negara-negara Kaya Kompak Pangkas Bantuan untuk Negara Miskin
Pemerintah
Baru 2 Bandara Pakai BTT Listrik, Kemenhub Siapkan Revisi Standar Nasional
Baru 2 Bandara Pakai BTT Listrik, Kemenhub Siapkan Revisi Standar Nasional
Pemerintah
BRIN: Peralihan ke BTT Listrik Pangkas Emisi Bandara hingga 31 Persen
BRIN: Peralihan ke BTT Listrik Pangkas Emisi Bandara hingga 31 Persen
LSM/Figur
Etika Keadilan Masyarakat dan Iklim
Etika Keadilan Masyarakat dan Iklim
Pemerintah
Akhiri Krisis Air, Vinilon Group dan Solar Chapter Alirkan Air Bersih ke Desa Fafinesu NTT
Akhiri Krisis Air, Vinilon Group dan Solar Chapter Alirkan Air Bersih ke Desa Fafinesu NTT
Swasta
Kisah Kampung Berseri Astra Cidadap, Ubah Tambang Ilegal Jadi Ekowisata
Kisah Kampung Berseri Astra Cidadap, Ubah Tambang Ilegal Jadi Ekowisata
Swasta
IEA: Dunia Menjadi Lebih Hemat Energi, tetapi Belum Cukup Cepat
IEA: Dunia Menjadi Lebih Hemat Energi, tetapi Belum Cukup Cepat
Pemerintah
Intensifikasi Lahan Tanpa Memperluas Area Tanam Kunci Keberlanjutan Perkebunan Sawit
Intensifikasi Lahan Tanpa Memperluas Area Tanam Kunci Keberlanjutan Perkebunan Sawit
Swasta
Industri Penerbangan Asia Pasifik Siap Penuhi Target 5 Persen Avtur Berkelanjutan
Industri Penerbangan Asia Pasifik Siap Penuhi Target 5 Persen Avtur Berkelanjutan
Pemerintah
Indonesia Ingin Bangun PLTN, tapi Geopolitik Jadi Pertimbangan Utama
Indonesia Ingin Bangun PLTN, tapi Geopolitik Jadi Pertimbangan Utama
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau