KOMPAS.com – Krisis lingkungan global semakin nyata. Data yang dipublikasi Living Planet Report 2024 menunjukkan degradasi lingkungan terjadi pada laju yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan jutaan spesies terancam punah.
Padahal, lebih dari separuh ekonomi dunia atau setara dengan 58 triliun dollar AS, sangat bergantung pada alam, mulai dari air, udara bersih, hingga stabilitas iklim.
Indonesia sebagai negara megabiodiversitas kedua di dunia, menghadapi dilema besar, bagaimana menjaga kekayaan alam sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi?
Baca juga: Bisnis Hijau Belum Massif di Indonesia, GRI Ungkap Sebabnya
Sekitar 40 persen perekonomian nasional masih bergantung pada sumber daya alam. Di sisi lain, eksploitasi berlebihan tanpa kendali justru mengancam modal dasar pembangunan itu sendiri.
Sektor bisnis dan keuangan selama ini kerap dipandang sebagai penyumbang kerusakan lingkungan.
Namun, keduanya justru memegang kunci untuk mempercepat transisi menuju ekonomi yang ramah alam (nature-positive economy).
Chief Conservation Officer WWF-Indonesia Dewi Lestari Yani Rizki memberikan paparan bertajuk Strengthening Economic Resilience through Nature Positive Transition pada gelaran Lestari Summit 2025 yang digelar KG Media di Raffles Hotel Jakarta, Kamis (2/10/2025).
Baca juga: Mengenal Ekonomi Sirkular, Model Bisnis “Hijau” yang Bisa Dorong Keberlanjutan Bisnis
“Karenanya, misi kami di WWF Indonesia adalah kita perlu memanfaatkan kekuatan sektor swasta dan keuangan untuk mendorong transisi menuju masa depan yang tangguh dan berkelanjutan, di mana bisnis dan masyarakat bisa jalan beriringan sekaligus menjaga alam,” ujar Dewi, Kamis.
Ia menegaskan pula bahwa dunia usaha tidak bisa lagi menempatkan konservasi sebagai beban tambahan.
“Konservasi harus dipandang sebagai investasi jangka panjang, bukan biaya. Dengan begitu, bisnis akan tetap relevan dan bertahan dalam jangka waktu panjang,” lanjutnya.
Meski demikian ia tak menampik bahwa tantangan terbesar ada pada pembiayaan. Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia atau Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2025–2045 memperkirakan kebutuhan dana konservasi mencapai Rp 70,69–75,53 triliun per tahun.
Baca juga: Mengenal “Ugly Fruit”, Si Buruk Rupa yang Punya Peluang Ekonomi di Tanah Air
Namun sebagai perbandingan, alokasi APBN 2022 untuk keanekaragaman hayati hanya sekitar Rp 9,85 triliun.
Kesenjangan seperti itu harusnya membuka ruang kolaborasi. Sektor swasta, perbankan, dan investor dapat mengisi kekosongan melalui instrumen inovatif, seperti obligasi hijau (green bonds), pembiayaan berbasis hasil (result-based financing), atau investasi pada solusi berbasis alam (nature-based solutions).
“Pendanaan publik saja tidak cukup. Kami butuh partisipasi sektor keuangan dan dunia usaha untuk menutup kesenjangan pendanaan, sekaligus membuka peluang ekonomi baru yang berbasis pada keberlanjutan,” kata Dewi.
Sekali lagi Dewi menegaskan bahwa mengabaikan risiko lingkungan berarti juga menutup mata terhadap risiko bisnis.
Erosi lahan, banjir, atau menurunnya kualitas air seperti yang terjadi di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, adalah contoh nyata. Sektor pertambangan, konstruksi, hingga perkebunan yang selama ini menopang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah justru rentan terhadap dampak degradasi lingkungan.
Baca juga: Pertamina Kembangkan Inisiatif Bisnis Hijau, Dukung Pengurangan Emisi
Namun, di balik risiko, tersimpan peluang. Menurut laporan Future of Nature and Business, transisi menuju ekonomi ramah alam berpotensi membuka peluang bisnis senilai 10 triliun dollar AS secara global, khususnya di sektor pangan, energi, dan infrastruktur.
“Ketika bisnis mulai menghitung ketergantungan dan dampaknya terhadap alam, mereka akan menyadari bahwa berinvestasi pada keberlanjutan bukan hanya soal tanggung jawab sosial, melainkan juga strategi bisnis yang cerdas,” jelasnya.
Saat ini, visi Indonesia Emas 2045 hanya bisa tercapai jika pembangunan menempatkan keanekaragaman hayati sebagai fondasi utama. Kolaborasi pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan lembaga keuangan menjadi kunci.
“Pertanyaannya sekarang bukan lagi apakah bisnis harus berubah, tetapi seberapa cepat dunia usaha dapat menjadi motor transisi menuju ekonomi yang benar-benar berpihak pada alam,” tegas Dewi.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya